Minggu, 22 Juni 2014

Karena Asam Sunti Kita Berbeda


(Cerpen ini diperlombakan pada kegiatan Peksimida, Kampus Al-Muslim, Bireun. Alhamdulillah meraih juara 2 se-Aceh)




“Cuih! Rasanya asam sekali kuah ini,” Da Maneh meludah sisa kuah di mulutnya, sambil meletakkan sendok kuah setengah melempar ke dalam belanga tanah. Bibir melengkung ke bawah, dahinya berkerut. “Kalau tidak bisa memasak, ngapain menikah,” lanjut Da Maneh. 
Istri dari anaknya hanya diam saja, memaling sekilas, tak jauh dari belakang mertuanya. Ia seolah terlihat menyibuk di tempat pencucian piring kotor. Tak disangka, ternyata mulut mertuanya lebih asam dari kuah Asam Keueung yang dimasaknya.
Intan baru lah dua bulan menjadi menantu Da Maneh. Tepat bulan Mei lalu ia melangsungkan pernikahan sederhana dengan Mahlizar, laki-laki berkulit putih, mata kecoklatan dan rambut keriting. Dulu, mereka berjumpa di Bireun, saat sama-sama sedang singgah di rumah makan Sate Matang yang terkenal itu. Ketika itu, tersisa satu piring sate, namun ada dua pelanggan yang menanti, Mahlizar dan Intan. Sebagai lelaki, Mahlizar mengalah, mempersilahkan si pemilik rumah makan memberikan piring terakhir itu untuk Intan.
“Biar untuk adek ini saja, Pak,” kata pria yang mempunyai nada suara lembut ini.
            Si gadis menatap sang pria dan mengingat betul wajah itu. Ia terima saja jatah itu. Begitulah awal mula perjumpaan mereka, biasa saja memang. Tapi hal ini sungguh tak biasa di hati Intan Siti Zulaikha. Mahasiswi UIN Ar-raniry Banda Aceh, yang sedang melaksanakan Kuliyah Pengabian Masyarakat (KPM) di Bireun. Pembawaan Mahlizar yang lembut dan dianggap menghargai perempuan, telah berhasil memincut hati gadis 21 tahun ini.
***
Memang sudah adat orang Aceh Pidie, bahkan adat Islam sendiri, jika wanita yang dipinang oleh lelaki maka akan ikut dan tinggal bersama suami. Hal ini berbeda dengan orang Aceh Rayeuk, lelaki yang meminang, maka akan tinggal bersama keluarga perempuan.
            Perbedaan adat yang mencolok, sering tak terhindar dari masalah. Begitu juga dengan keluarga Mahlizar. Sejak pertama menikahi Intan, mertuanya memang tidak seberapa suka. Selain harga mayamnya yang cukup tinggi, 20 Mayam, ia juga dianggap sebagai gadis yang kurang bisa menjaga diri.
“Alah…, aneuk dara yang tinggal di kos itu, kan, kalau malam-malam kerjaannya melayani Om-Om hidung belang,” kata Da Maneh suatu ketika saat perkumpulan penarikan julo-julo di desa Sibreh.
Nyan keuh, Da Maneh. Saya sering mendengar langsung dari anak kos yang beli sayur sama saya di pasar Lambaro,” kata Ti Minah sambil mengunyah Timphan Asoe Kaya di mulutnya, sebagian isi Timphan moncrot keluar karena ia makan sambil bicara. “Kebanyakan memang awak blah deeh Seulawah,” sambung karibnya satu tumpoek duek tersebut. Wanita yang berselendang krem kusut dan baju merah tua bergetah pisang itu, kini mencomot Bada Pisang Abee.
“Demi kuliyah, semua mau mereka lakukan. Kalau kita orang Aceh Rayeuk, mana mau berbuat semacam itu.,” sambung Da Maneh lagi.
Jadi, tidak heran kalau Intan sering menjadi bulan-bulanan Da Maneh. Apalagi teman-teman kelompok julo-julonya juga menyampaikan dukungan seide. Bagaimana dengan anak laki-laki semata wayangnya itu? Mahlizar sering meyakinkan ibunya itu, bahwa Intan adalah gadis berbeda.
“Dia gadis baik-baik, Mak. Kuliyahnya di kampus agama pun. Meskipun tidak memakai baju kurung, dan jilbab lebar, tapi dia juga guru ngaji TPA di mesjid kampus,” jelas Mahlizar dengan lembut dan santun.
“Zaman sekarang, mana tentu. Yang kampus agama pun tidak jauh beda dengan yang umum,” selalu saja ada bantahan dari ibunya Mahlizar. Dalam persepsi ibu-ibu di kampong Sibreh, yang namanya anak kos memang negatif anggapan masyarakat. Karena tidak ingin durhaka, ia tak melanjutkan bantahannya.
***
“Allahu akbar, Allah…hu akbar,” suara azan magrib mengumandang.
Allahumma lakasumtu wabika aamantu…”Da Mane
h, Mahlizar,dan Intan berbuka puasa bersama.
“Abang, hari ini adek masak I Bu Peudah. Mau adek taruh ke pinee, kata Intan, lembut, setengah memanja. Maklum saja, mereka jarang sekali bisa berdua, kecuali di saat malam saja. Mahlizar yang bekerja sebagai tukang jual buah di simpang Lambaro sering pulang sore. Kadang-kadang harus ke daerah lain untuk mengambil buah langsung dari tempatnya. Misalkan, ke Takengon atau ke Bireun, seperti waktu pertama mereka bertemu. Awalnya Mahlizar ingin mengangkut panen papaya dari kebun koleganya.
I Bu Peudah, atau Kuah I, ini? Kog, tidak ada kelapanya?” Da Maneh buka suara saat membuka tutup saji biru dongker diatas meja makan. Rencana Intan ingin menyajikannya khusus untuk suami tercinta. Suasana berbuka hari pertama puasa yang awal syahdu, tiba-tiba menyeramkan. Hening.
Sebetulnya Intan tak ingin membantah. Ia sering dinasehati suaminya. Sebagai orang yang lebih berilmu, sudah seharusnya kita lebih sabar, apalagi dengan orang tua sendiri. Tapi, kali ini ia pun buka suara.
“Saya minta maaf, Mak. Waktu mau masak, di rumah tidak ada kelapa. Abang belum pulang. Kios jauh sekali, tidak ada motor ke sana,” jelas Intan pelan dengan wajah tertunduk, tanpa memaling ke arah mertuanya. Berharap mendapat pemakluman.
“Alah…,” sahut Da Maneh sambil melengkungkan bibir ke bawah dan berlalu pergi mengambil wudhu. “Kalau ada mau, pasti ada cara. Kan, bisa minta sama Nek Mariah di samping rumah sebentar,” tanpa melihat ke belakang.
Tinggal Intan dan suaminya. Meski berdua, sepertinya ia tak berkeinginan bermanja-manja lagi dengan Bang Mahlizar. Kalau bukan karena Bang Mahlizar, ingin sekali Intan membanting semangka bulat 4,5 kg di atas meja makan itu.
“Bang Mahli, Intan minta maaf.”
“Adek… Abang bangga pada Adek. Tidak ada yang harus dimaafkan.  Abang tau, sebetulnya Adek mengingat pesan Abang, jangan suka meminta ke tetangga, meski sesulit apapun.”
“Abang…” mata Intan berkaca, setetes-demi setetes membasaha pipinya yang putih kemerahan. Sekejap, tubuhnya sudah mendekap pemilik tulang rusuknya. Mahlizar pun membalas, memeluk dan mengelus bahu kiri istrinya.
“Abang sayang Adek,” (mengecup kening Intan). Sesaat erat berdua. Lalu, beranjak untuk shalat magrib berjamaah bersama, di kamar. Ibu mertua sudah duluan solat sendiri di ruang tamu depan.
***
Puasa sudah berlalu beberapa hari. Intan senang berada di bulan penuh berkah ini. Salah satunya, karena intensitas pertemuannya dengan Cut Bang tercinta semakin tinggi. Cukuplah mengobati stresnya bersama mertua di rumah.  Semenjak menikah dengan Mahlizar Intan memilih tidak melanjutkan kuliyahnya yang tinggal menyelesaikan skripsi saja. Gadis manis berparas ayu ini memang ingin mengabdikan diri sepenuhnya. Meski ada sedikit kekecewaan dari pihak keluarganya di Pidie sana. Sehingga pihak keluarganya pun ikut keberatan pada awal pernikahan mereka. Namun keinginan dua insan yang saling mencinta ini tak dapat dibendung. Toh, bukan untuk pacaran, tapi untuk menikah. Tak melanggar perintah Tuhan. Meski sederhana dan tak banyak tamu yang diundang, tapi mereka bahagia.
“Abang…” Intan melembutkan suara dan tersenyum manja kepada Bang Mahlinya. Dirangkulnya tangan kanan suaminya. “Sore ini kita buka puasa di luar aja, boleh?” “Berdua?”
“Eu eu… Berdua saja,”Intan mengiya, mata bundarnya semakin melebar, bibirnya terkatup dua.
Sudah lama Intan menanti momen langka ini. Menghabiskan sore, jalan-jalan ke Taman Rusa, sampai singgah ke Ayam Tangkap Pak Aiyub di Jembatan Ulee Kareeng. Romantis. Pikir Intan dalam hati. Mereka memang belum sempat menjalin hubungan pacaran sebelum menikah. Maklum, kesibukan di kampus, semester akhir sangat padat. Paling hanya sms-an dan saling mengirim hadiah. Mahlizar mengirim buah Melon Apel kesukaan Intan, dan Intan pun mengirimkan buku “Indahnya Merayakan Cinta,” karya Salim A.Fillah. Meski bukan orang yang suka membaca, tapi, karena hadiah dari Intan maka ia pun melahapnya sampai habis. Hingga tak ragu lagi untuk benar-benar merayakan cinta bersama sang gadis.
“Adek pesan apa?” Tanya Mahlizar sambil menatap istrinya lekat. Ia terlihat lebih manis dengan jilbab merah hati. Tapi, ada yang berbeda, pipinya mulai sedikit berisi.
Intan memesan Ayam Tangkap, potongan buah Melon Apel, sirup merah dengan serutan mentimun. Sedangkan Mahlizar memesan Mie Aceh, the dingin dan Cumi Pheb. Karena permintaan istrinya, ia juga membawa pulang makanan untuk ibu di rumah. Gulai Plik U dan Kuah Sie Kameeng jadi pilihan mereka untuk ibu di rumah. Sayang juga, hari ini beliau berbuka sendiri.
“Sayang juga, Mamak sering makan tidak enak gara-gara Adek yang masak.”
“Bukan tidak enak sayang, tapi beda selera saja. dan  Kan, masakan ureung Aceh Rayeuk berbeda dengan orang Pidie. Kalau di kampong Adek, Abang yakin, pasti masakan Adek enak banyak,” jelas Mahlizar sambil mencubit pipi istrinya yang mulai berisi.
“Ha? Enak banyak? Enak sekali.”
“Enak sekali, hanya sekali saja. Kalau banyak, tidak terhitung enaknya.”
“Hahaha…” Tertawa bersama, meski humornya garing.
“Ngomong-ngomong, adek sudah gendut sekarang, ya?”
            Intan tersenyum dan diam sejenak. Matanya mengarah ke kiri, tak memandang Bang Mahli sejenak. Sambil senyum simpul tersungging di bibirnya. Ia senang, baru sekarang Mahlizar benar-benar memperhatikan perubahan pada dirinya.
“Adek Hamil, Bang.”
“Betul, Dek?” Tanya Mahlizar meyakinkan. “ Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas nikmat-Mu ini. Sejak kapan Dek?”
“Sekitar sebulan yang lalu, Bang. Hal itu juga yang sebetulnya ingin adek kabarkan ke Abang, hari ini.”
            Selesai buka puasa romantis, mereka memburu pulang, agar bisa berjamaah di kampungnya, Sibreh. Di atas sepeda motor bebek merah silver, Intan memeluk erat pinggang suaminya. Dengan kecepatan sedang, magrib itu melewati Lambaro yang gelap dan sepi. Langit malam itu, mendung. Sesekali tangan kiri Mahlizar mengenggam tangan kiri istrinya. Seolah ia tak ingin kehilangan istri dan calon jabang bayinya.
***
Beberapa bulan berlalu. Kini usia kandungan Intan beranjak tujuh bulan. Artinya, sudah saatnya dilaksanakan prosesi Mee Bu. Mertua pihak laki-laki menyediakan khanduri kecil untuk kehamilan pertama si menantu perempuan. Buah-buahan, Bu Leukat Kuneeng, Tumpoe, Timphan dan Peunajoh Aceh lainnya disajikan. Mungkin lain tempat, lain pula sajiannya. Tujuannya untuk menyenangkan hati si menantu.
“Alah, hai Ti Baedah, saya malas sekali sebetulnya menimang adat seperti ini.”
“Yah, sudah begini adat nenek moyang kita, jalani saja. Adat tidak boleh kita  buang. Itu harus kamu ingat Maneh.”
            Tak sengaja Intan mendengar percakapan mertuanya dan Wa Baedah. Kalau saja bisa, ia lebih memilih untuk tidak usah saja diadakan tujuh bulanan ini. Selain merepotkan ibu-ibu dan para aneuk dara desa, keuangan suaminya juga menipis. Semakin hari, tingkah mertuanya semakin makan hati. Sebetulnya dia sudah tidak tahan lagi, tapi ia bersabar untuk suaminya. Suaminya pun tidak banyak membantah ibunya. Ia cendrung mendiami saja. Atau menyarankan sabar kepada istrinya.
***
“Wa Maneh, tidak lama lagi akan punya cucu ya. Selamat ya, cucunya orang Pidie. Hehehe,” Mirna menggoda Da Maneh. Makin panas hatinya. Kalau boleh memilih ia tak ingin bercucukan orang Pidie. Sepertinya rasa tak senang kepada Intan semakin menjadi-jadi, bahkan sekarang mulai turun ke cucunya. Sebaik dan sesabar apapun menantunya, seolah tak ada artinya apa-apa bagi Da Maneh.
“Jangan banyak eek minyeuk, sini! Bantu Wa mu ini menyiapkan buahan.
“Hahaha, get Wa,” kata Intan yang masih sepupu jauh Mahlizar. Jika tak menikahi Intan, maka anaknya akan dijodohkan dengan gadis ini. Biar harta warisan tidak lari ke orang lain, pikir Da Maneh. “Apa saja Wa, yang harus ditaruh di tafsi?” Tanya gadis berkerudung kuning dengan poni keluar kedepan.
“Yang murah-murah saja, papaya ada di belakang rumah. Kau petik sebentar. Oh ya, Sirsak juga bisa, samping pohon Jeruk nipis di samping kandang kambing. Biar Apel sama Pir ini kita simpan saja. Sayang, terbuang-buang.”
Dari pagi pihak mertuanya sudah menyiapkan sajian khanduri Mee Bu untuk tujuh bulanannya Intan. Rombongan keluarga Intan baru akan sampai nanti siang
***
“Assalamu’alaikum…” rombongan dari Pidie sudah tiba ke Sibreh.
Piyoh, besan…” sambut Da Maneh dengan senyum dibuat-buat. Ia ingin terlihat ramah di depan penduduk desa. Da Maneh menyambutnya sendiri, karena Mahlizar sudah lama yatim, sejak ia masih kecil umur sembilan tahun, ayahnya meninggal jadi korban konflik.
Setelah berkumpul rombongan dari Pidie, dan makanan sudah disajikan, serta diatur dengan rapi di Seuramoe Keu. Intan duduk bersama mendampingi orang tuanya. Begitu juga Mahlizar, ikut mendampingi istrinya yang perutnya kian membesar.
Tiba-tiba.
“Hai! Apa kalian mau membunuh anak saya!?” suara Ibunya Intan menggelegar seruangan. Suasana mencekam. Tetamu keheranan. Begitu juga dengan warga desa yang menghadiri khanduri. “Intan, ayo kita pulang segera, betul lah firasat Mak selama ini, ternyata kamu memang diperlakukan dengan kejam.”
“Kenapa begitu, besan? Jangan marah-marah” tanya Da Maneh mulai memanas juga.
“Apa jangan marah-marah! Anak saya mau kalian racuni jus Sirsak dan Jeruk Nipis, apa tidak marah.” Seseorang menyajikan Sirsak blender dengan potongan jeruk nipis di samping gelas. Bersama buah-buah dan jus yang lain disediakan diatas tafsi.
Jak peh teem. Saya tidak melakukan itu. Saya juga orang percaya Tuhan. Meracuni orang lain dosa besar. Saya TIDAK melakukan itu!” Da Maneh terpancing dan kini berkacak pinggang.
Ibu Intan menarik tangannya  di seblah kiri dan ayahnya di seblah kanan.
“Ayah sedih melihatmu begini. Seumur hidupmu nyamuk pun tak akan ayah biarkan menggigitmu, sekarang mau diracuni orang. Ayah tidak terima. Ayo kita pulang Nak!” Ayahnya jauh lebih tenang dari ibunya.
            Jelas, Intan terkejut dan tubuhnya berguncang. Jilbab merah jambunya basah di bagian pipi.
“Alah hai Pidie Prak! Bawa pulang sana, anakmu! Aku pun tak sudi menantukan dia.” Da Maneh emosi.
Mahlizar memegang ibu dan menenangkannya. “Cukup, Mak, cukup. Tidak baik orang tua seperti ini.”
Mobil Kijang ‘90-an berwarna silver mulai dihidupkan kuncinya. Satu persatu pemiliknya masuk. Bahkan dalam keadaan sangat terburu. Mahlizar terlambat menyadari istrinya sudah di mobil. Jaraknya tiga puluh meter dari teras rumahnya.
“Adek… Tunggu!...” Teriak Mahlizar sambil terus mengejar laju mobil yang membawa istrinya.
            Rumah Mahlizar tak jauh dari jalan raya simpang Sibreh. Mobil yang tadi lambat karena berdesak kini mulai cepat, karena di jalan raya tak ada lagi deretan parkiran tetamu. Mahlizar terus mengejar hingga ke jalan raya. Sebelum mobil Kijang itu sampai ke belokan simpang, sebuah Carry Honda merah melaju kencang, mobil itu mendadak mengerem ketika melihat ada pria yang berlarian di tengah jalan. Tiba-tiba…
“Braaak!”
“BANG…!” Jeritan Intan sejadi-jadinya.



Lembar Keterangan;
Asam Sunti: belimbing sayur  yang dikeringkan, ditaburi garam
Mayam: satuan emas di Aceh. 1 Mayam= 3,33 gram emas
Aneuk dara: anak dara
Julo-julo: sebuatan untuk arisan di Aceh
Nyan keuh: itu lah (kalimat meyakinkan)
Awak blah deeh Seulawah: Sebelah sana gunung Selawah (sebutan untuk orang Pidie oleh orang Aceh Rayeuk)
Tumpoek Duek: kerumunan ibu-ibu (konotasi negative, ibu-ibu tukang gosip)
Piyoh: mampir
Seuramoe Keu: Serambi depan Rumoeh Aceh
Jak Peh Teem: omong kosong
Pidie Prak: sebutan orang Pidie, karena dianggap pelit
Tafsi: talam kecil


 #Mohon saran dan masukannya lagi oleh pembaca budiman. Beberapa komentar dari:
-K.Nuril: EYD kurang
-K.Beby: Endingnya bahaya, tidak boleh lari dari masalah. Ini kesalahan fatal. Padahal niatnya mau bikin tragis aja.


Selasa, 20 Mei 2014

Seorang Laki-laki Kecil Melamarku

Mungkin dia laki-laki pertama yang sangat pemberani mengungkapkan keinginan menikahnya denganku. Tapi, ku anggap  gurauan dan hiburan saja. Mesti sempat juga tersipu malu-malu lalu dibarengi tawa lepasku.

Mungkin ilustrasi rada ngak sesuai. heheh, tak da foto laen.

“Kalau saya sudah berumur 24 tahun, saya mau menikah dengan ustazah (saya),” kata Reza, laki-laki putih yang masih berusia 7 tahun itu kepadaku. Aku sempat terdiam dan tidak percaya murid TPA ku itu bisa mengucapkan kata-kata tersebut padaku yang sudah berumur 21 tahun. Namun tak lama, tawaku pun pecah dan hanya senyum tersipu setelah sebelumnya hanya terdiam tanpa bisa berucap sepatah kata pun. Ku perhatikan lebih jelas ke wajahnya. Apa yang salah dari anak ini. Ia tiba-tiba saja mengeluarkan kata-kata itu pada saat latihan pidato sedang berlangsung. 

“Ustazah manis, tapi kalau tidak ada tailalatnya, hahaha,” tertawa Reza lepas dan  terlihat puas sekali setelah mengataiku. Aku hanya bisa mencubit pipinya. Lalu ia berteriak, “Aw!” dengan cara yang centil. Kali ini sedikit dongkol aku padanya, ni anak kog jujur banget. Memang lah kulit wajahku yang kuning langsat tampak mencolok dengan 5 tailalat di muka.

Tak menunggu lama, aku langsung menjelaskan tentang apa yang barusan ia katakan dengan semampuku. Maklum, ini kali pertama menjumpai laki-laki kecil berfikiran dan berbicara dewasa. Posisi duduk antara aku dan Reza awalnya hanya setengah meter saja, namun cepat ku ubah dan menjauh darinya.

“Udah ya Reza, sekarang panggil kawan yang lain,” pintaku padanya untuk memanggil kawan lain yang sedang menunggu gilirannya. Setelah hari itu, saya berusaha lebih banyak membaca buku-buku psikologi dan parenting. Serta berdiskusi dengan pengajar yang sudah berpengalaman, supaya mendapatkan pencerahan. Karena pada saat saya lapor ke pihak TPA, mereka hanya menggap kelucuan semata. Namun tidak bagi saya, saya semakin penasaran dan mendalami karakter si anak. Bukan, bukan karena dia menyatakan perasaannya, tapi karena kekhawatiran saya akan masa depannya. Mungkin saja sebenarnya ia tidak betul-betul paham terhadap apa yang ia sampaikan tersebut.

Pada lain kesempatan saat aku sedang mengajar kelompok santriwan 6-9 tahun, Reza yang masih berumur 6 tahun sempat mengatakan hal aneh pula. Namun pada saat itu, sama sekali tidak ku hiraukan. Ketika itu aku bersikap tegas terhadap Reza yang melakukan kesalahan, rupanya ia mendongkol. Tak lama kemudian saat kuajak ia bicara namun ia malah mengatakan, “Eh, ngapain ngomong-ngomong sama saya lagi! Kita kan, sudah putus!” kata Reza setahun sebelumnya.
Santri-santri yang lain pun tak tinggal diam, memamfaatkan situasi dan ikut menggodaku. “Ciye...Ciye... Reza pacaran sama Ustazah...” kata Razi dan disambut secara koor oleh santri yang lain.

“Apa itu pacaran Nak? Kita ngak boleh ngomong yang kita belum tahu. Kita harus tahu dulu, baru ngomong,” jelasku yang belum banyak pengalaman mengajar. Sekitar tujuh orang anak dalam satu kelompok itu saling mengemukakan pendapat. Aku mendidik mereka memang demokratis, masing-masing boleh mengemukakan pendapat. Setelah itu barulah aku memberikan penjelasan kepada mereka. 

Sebagian besar anak menjelaskan dengan cara yang salah. Tapi tidak dengan si Reza, sepertinya ia sangat tanggap dengan masalah seperti ini. Dari mana ia mendapatkan pengetahuan sejauh itu, pikirku. Lalu ku luruskan masalah tersebut. Positif thinking saja, momen ini ku ambil untuk menjelaskan pengertian pacaran, hukumnya dalam agama Islam, bahaya, dsb. Anak-anak sekarang memang harus dijelaskan sejak dini. Namun tentu dengan batasan dan sesuai dengan umur mereka. Disinilah guru dituntut untuk leboh cerdas dan mengasah diri dengan banyak referensi. Pada saat aku menjelaskan, sempat aku bertanya lagi,
“Nah, boleh ngak pacaran itu?”
“Ngak...”jawab semua santri secara koor. Namun seperti ada satu suara sumbang disitu. Kuusahakan mendengar lebih jelas lagi.
“Siapa yang bilang boleh?” tanyaku lagi.
“Saya, Ustazah,” sahut Reza dengan tenang dan mengancungkan telunjuk.
“Ngak boleh, e...” kata kawannya yang lain.
Aku hanya diam, sengaja menunggu kelanjutan dari penjelasan si Reza. Kali ini semua mata tertuju padanya, menanti penjelasannya.
“Iya kan, Ustazah? Kalau sudah menikah, sudah boleh pacaran. Kan, sudah sah,” jawab Reza mantap sambil tersenyum puas.
“Em... iya, benar juga sih kata Reza. Pacaran baru boleh dilakukan setelah menikah,” jelasku dengan perasaan keheranan, tidak menyangka Reza bisa berfikir sejauh itu. Dengan mantap dan sangat cerdas. Cara berfikirnya luas, seperti bukan anak berumur 6 tahun saja.
“Nah, nikah itu bagaimana sih?” tanya Razi yang mulai antusias dengan topik ini.
“Nikah itu...” belum habis Reza bersuara, tapi dengan cepat aku terpaksa memotong. Aku khawatir jika Reza memberikan informasi yang belum terfilter sehingga bisa mempengaruhi kawan-kawan yang lain. Apalagi pikirannya tentang itu terlalu dewasa untuk anak seumurannya. Penjelasan ku ambil alih sekarang. Sedangkan Reza hanya terdiam dan terus menatap lekat-lekat ke arah wajahku. Seolah pura-pura tak tahu, aku pun juga melirik memperhatikan pola tingkahnya. Saat ku tatap ke arahnya, ia langsung memalingkan wajahnya.

Kisah ini adalah ironi pertumbuhan anak-anak masa kini. Ia terlalu dewasa saat usia masih kanak-kanak. Pengaruh pendidikan, pola asuh dan lingkungan sangat menentukan ia. Apa jadinya kelak ia setelah dewasa. Reza hanya salah satu fenomena gunung es. Dan ia hanya bersikap begitu kepadaku, sedangkan dengan guru-guru yang lain ia bersikap normal layaknya anka-anak seumurannya. Berkepribadian ganda, pikirku. Bisa jadi hal ini juga menimpa anak kita yang terlihat diam dan polos. Batasi pergaulan si kecil. Setelah beberapa kali mencari informasi tentang Reza, baru lah saya tau, ternyata “pengetahuannya” itu berasal dari seorang “Oom” kawan mainnya. Secara diam-diam ia juga memperhatikan bahkan melakukan  apa yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut. Termasuk browsing internet tanpa pengawasan. Sudah pasti semua sampah masuk ke otaknya, tanpa terfilter.





Selasa, 13 Mei 2014

TIPS SEPUTAR KPM (Kuliyah Pengabdian Masyarakat) SUKSES

#Make your KPM ceria...
Tulisan ini saya dedikasikan bagi adek-adek leting dan kawan-kawan yang ingin mempersiapkan keberangkatannya menuju penunaiaan Tri Darma perguruan tinggi yang ke tiga, ada yang tau apa? Wah, kalau ngak tau, itu jadi PR dan harus cari tau ya? Di UIN Ar-Raniry, kegiatan pengabdian ini disebut dengan KPM, mungkin di Universitas lain di Aceh masih menyebutnya KKN. Kegiatan yang berlangsung kurang dari dua bulan.


Temukan Motivasimu
Sebelum membahas lebih lanjut.  Pesan saya adalah, temukan motivasi dan alasan kenapa kawan-kawan harus KPM dan harus sukses pula. Baik, mungkin bisa jadi setelah membaca tulisan ini, kalian baru menemukan alasan itu. Atau, bagi yang sudah menemukannya, alhamdulillah. Makanya, harus dibaca dengan seksama. Yah, itu pun kalau mau tercerahkan.
Nah, biasanya nih, kalau baru datang ke kampung tempat pengabdian, pasti suka bingung-bingung dulu, “Mau buat kegiatan apa ya?” Ah, ada juga kog yang ngak bingung. Selamat bagi yang sudah mempersiapkannya dengan matang. Tapi, saya yakin kebanyakan mahasiswa masih suka bingung. Saya pun mengalami hal itu pada awalnya. Berikut beberapa tips yang bisa di lakukan.

a.Ta’aruf
Minggu pertama biasanya sering disebut dengan minggunya ta’arufan, atawa perkenalan. Baik itu perkenalan dengan sesama kawan baru maupun dengan perangkat desa. Menjalin kekompakan dan menyatukan ide sebelum bekerja adalah penting banget. Kalau tidak, maka pekerjaan yang dilakukan akan semakin berat terasa. Makanya mulailah berkenalan siapa dia, dimana tinggal, jurusan apa, keahliannya apa, dsb. Karena, kedepan kita bisa berbagi tugas sesuai bidang dan keahlian masing-masing.
Selanjutnya ta’rufan sama perangkat desa. Sarannya saya, masa perkenalan ini ngak usah dilakukan sampai satu minggu, yang penting efektifkan waktu bekerja kita. Adi, sekitar 3-4 hari sudah sangat cukup. Asalkan kita mau membuat jadwal silahturrahmi ke rumah perangkat desa. Misal:
Hari senin:
-Ke rumah Pak Keuchik (1 jam)
-Ke rumah Teungku Imam (30 menit), ada kemungkinan imamnya lebih dari satu.
-Ke rumah Tuha Peut (30 menit).
Dan seterusnya, semakin detil jadwal yang ditulis, maka semakin baik. Bedakan pula antara pembagian waktu pagi dengan waktu siang. Serta, gunakan waktu solat berjamaan di mesjid, baik di waktu magrib maupun di waktu Isya. Mungkin sehari kemudian atau hari itu juga akan ada perkenalan anak KKN di mesjid oleh perangkat desa. Bagian ini bisa fleksibel.
Hal yang sangat penting pada saat ta’aruf ke rumah perangkat desa adalah, menanyakan, kira-kira program yang seperti apa yang mereka butuhkan untuk kampungnya. Namun, sebelumnya kawan-kawan sudah harus punya catatan tentang kegiatan yang akan dilakukan, sebagai outline awal. Masyarakat adalah orang yang lebih tau apa kebutuhan gampongnya. Dan hal ini juga bakal membantu kawan-kawan yang belum memiliki gambaran mau buat kegiatan apa nantinya.
Ingat, setakut dan semalu apapun, jangan tampakkan wajah seperti itu pada masyarakat. Tunjukan jati diri kita yang percaya diri dan meyakinkan. Namun, bukan berarti “songong” dan sok-sok an juga. Tetap jaga kesantunan dengan orang tua. Pengalaman saya, ada kawan dari tetangga sebelah gampong yang bersikap “over” akhirnya mendapat banyak cibiran.

b.Merancang Program
Wah, Kak, kami ngak tau nih, mau buat apa aja sebagai outline awal tadi. Nah, berikut contoh program yang biasa dilakukan anak KPM dan yang pernah kami lakukan.
Oya, bagi kawan-kawan yang tidak mendengarkan dengan seksama pada saat pembekalan 3 hari di auditorium Ali Hasjimi, mungkin akan lebih kesulitan dalam merancang program. Konon lagi yang keluar-keluar masuk waktu pembekalan. Sebetulnya saya bisa pahami, karena juga telah mengalami, hampir 80% penyampaian pematerinya membosankan. Ya kan? Hanya satu atau dua pemateri aja yang “Asik”. Maklum saja, kita harus husnuzon. Dosen-dosen kita itu memang memiliki kapasitas ilmu yang tinggi, kog. Hanya saja cara penyampaian atawa retorika atawa ilmu pablic speakingnya sedikit kurang dikuasai. Nah, loh, ngak takut mengkritik dosen? Ngak kog, kan, hal ini untuk kebaikan, lagian sepertinya saya sudah pernah menyampaikan langsung hal ini ke pihak P2M yang mengurus KPM. Dan, bagi dosen yang membaca tulisan ini semoga bermamfaat dan bisa menjadi masukan.
Masa tiga hari pembekalan ini sangat penting, seharusnya para dosen bisa menyajikan materi yang seharian dari pagi sampai siang ini menyenangkan. Mahasiswa pun tidak bosan. Saran saya, para dosen pemateri KPM juga harus diberikan pelatihan public speaking dan motivator dari luar. Recomended saya misalkan Sayid Fadhil Asqar, Setia Furqon Kholid, dan sebagainya yang punya passion di dunia pendidikan. Jangan sampai menyalahkan mahasiswa secara sepihak saja karena tidak mau mengikuti pembekalan. Bagi mahasiswa juga harus bersikap dewasa, sambil menunggu perubahan dari kampus kita, maka tugas kita mau ngak mau ya harus didengerin materinya. Bagusnya lagi, terlibat aktif dalam bertanya. Sekalipun pertanyaan yang sangat sederhana, misal, menanyakan nomor HP si pemateri, hehhe, asal aja contohnya ya? Kalau diketawain, cuek aja. Pulang dari setu pun, ngak ada yang kenal lagi.
Balik ke pembahasan perencanaan program yang akan dilakukan. Dari setiap materi yang diberikan saat pembekalan, maka bisa kita susun ancang-ancang sesuai dengan amanat dan keinginan pihak kampus yang harus dicapai mahasiswa. Misalkan dalam materi syariat Islam, kita bisa membentuk sebuah kelompok kajian membahas tentang syariat Islam di Aceh. Tapi kak, masalahnya kami aja ngak tau gimana syariat Islam di Aceh tu. Nah, makanya dengerin baik-baik, telan tuh obat meski pahit rasanya, Insyaa Allah bisa jadi penyembuh. Ngerti? Jadi, tugas selanjutnya ya baca bawa buku referensi tentang syariat Islam. Jangan lupa simpan nomer HP pemateri, hal ini berguna  saat di lapangan nanti.
Pengalaman saya, ketika ada permasalahan pelik yang tidak bisa kami lakukan, maka saya akan menelpon pemateri tersebut untuk bertanya perihal solusinya. Mereka juga bisa menjadi teman sharing, dan memberi batasan kita, mana permasalahan gampong yang boleh kita ikut campur, mana yang tidak boleh kita ikut campur. Soal materi syariat Islam tadi, jika pada saat diskusi, ada warga yang bertanya dan kita tidak bisa menjawab, akui saja, jangan asal. Katakan, “Maaf ya bu/Pak, jawabannya kami tunda dulu, Insyaa Allah jawaban yang lebih lengkap lagi kami sampaikan besok.” Pending dulu, lalu konsul sama dosen pemateri.
-Berikutnya program TPA.
Ini mah, kegiatan KPM sejuta ummat. Paling mudah dilakukan, yaitu mengajar layaknya mengajar TPA biasanya. Ah, ngak mudah juga kog, kak! Ya iya lah, wong ngak pernah ngajar TPA. Kawans, makanya bagi yang belum KPM, saran ane cepat-cepat melamarkan diri menjadi pengajar. Mamfaatnya waktu KPM gini. Bagi yang biasa ngajar TPA, ya enjoy-enjoy aja mau ngajar bagaimana. Selain dapat ilmu, juga dapat pahala, soal dapat infaq itu mah, bonus.

Saya bersyukur sekali sahabat saya Dina Masturah “memaksa” saya untuk menjadi pengajar di TPA nya, padahal saya merasa tidak berbakat banget untuk mengajar. Belum lagi psikologisnya belum siap memanggil “Nak” untuk murid, kaku banget. Tapi, justru pengalaman inilah yang berikutnya dengan izin Allah memudahkan saya dalam hal berbicara dan beretorika. Wong practice ngomong tiap hari. Bahkan memudahkan saya dalam presentasi KTI Nasional di Banten, alhamdulillah juara 2 dari 53 PTAIN se-Indonesia. Luar biasa mamfaat TPA, jika kita mau niatkan ikhlas dan untuk pembelajaran diri juga.
Oya, kembali ke tablet, eh ke topik. Soal program TPA. Hati-hati juga kawan. Maksudnya Kak? Iya, hati-hati dengan merancang program ini, jangan sampai justru menimbulkan konflik. Misal, di gampong yang kita stay udah ada TPA nya, jangan nambah lagi, ikut nimbrung aja. Namun tetap buat kegiatan yang berbeda. Kalau ngak ada pembeda, ya sama saja, keberadaan kita hambar. Pembeda itu misal seperti yang kami lakukan, di gampong tersebut ada seorang Teungku yang mengisi kajian di malam hari, dan TPA di siang hari. Kalau bisa kita bikin kelas khusus untuk anak remaja atawa dewasa agar menjadi regenerasi dan membantu sang Teungku. Ajarkan anak-anak remaja tadi cara mengajar, menyusun materi yang akan diajarkan, berikan beberapa lagu-lagu TPA. Ini gampang sekali, kalau kita punya stok materi BCM (Bermain Cerita Menyanyi). (Bagi yang mau, boleh diinbox, Insyaa Allah akan saya kirim kan.
Pokoknya, walaupun kita ngajar TPA juga, tapi buatlah terasa berbeda, ada hal baru yang bisa kita berikan. Gunakan kemampuan yang selama ini ada. Telpon dan minta bantuan ustazah lain dari TPA jika ada kendala. Misal, ketika pertengahan masa pengabdian kita akan membuat lomba-lomba. Gimana lombanya, apa saja penilaiannya, sistem pelaksanaannya, hal ini bisa ditanyakan kepada Ustaz/Ustazah yang lebih berpengalaman di bidang itu.
Nelpon mulu, Kak? Habis lah, pulsa kami. Yah, udah KPM mah jangan nanggung-nanggung. Ingat, kerja dan pelajaran hari ini, maka akan sangat bermamfaat setelahnya. Kesuksesan itu pun, tergantung bagaimana pengorbanan kita. Namanya juga masa study, ya banyak keluar dana. Makanya bersungguh-sungguhlah melaksanakan KPM ini. Yang saya bayangkan adalah, pertama, orang tua kita mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk kegiatan ini, masa mau bangun-tidur-bangun lagi aja disana. Rugi lah. Kedua waktu, jangan sia-siakan waktu begitu saja. Ketiga tekanan, banyak tekanan yang akan kita dapatkan. Misalkan yang kami rasakan, nau’zubillah dah, spot jantung pertama-tama kali sampai di gampong stay. Mulai dari Keuchik, sampai masyarakatnya menunjukkan sikap penolakan terhadap kami. Wajar sih buat mereka, konon yang KKN sebelumnya “ngak guna” banget katanya. Kerjaannya Cuma mutar-mutar gampong dan sibuk di kamar sendiri. Astaghfirullah semoga kita tidak menjadi bagian yang seperti itu ya. Namun, justru hal ini yang akhirnya memacu adrenalin saya dan menjadi tantangan, harus melakukan sebuah pembuktian. “Kita Harus Sukses Kawan-Kawan.” Alhamdulillah, akhirnya pihak gampong meneteskan air mata, pertanda beratnya perpisahan pada saat kami selesai mengabdi.
-Ketrampilan dan Kerajianan Tangan.
Dalam hal ini, kita tak hanya mengajarkan penduduk, namun juga harus belajar skill yang mereka miliki. Tukeran, lah istilahnya. Dan seperti itu memang yang diharapkan oleh P2M. Jika ada ketrampilan yang kita bisa, buat jadwal dan hari khusus untuk diajarkan. Sepakati dulu dengan peserta pelatihan. Begitu juga dari ibu-ibunya atau warga yang kita mintai untuk mengajar.
[Wah-wah, pembahasan ini terlalu panjang deh, Insyaa Allah akan saya tambah lagi ke depan dan lebih detil beserta contoh program yang kami lakukan]. Keep Reading ya? Boleh ajukan pertanyaan dan komentarnya di bawah.

c.Perlengkapan Tempur
Selain perlengkapan pribadi yang kawans sendiri lebih tau apa yang dibutuhkan, juga siapkan buku atau materi yang akan diajarkan di gampong stay. Misal, buku materi hafalan, doa harian, buku cara mengajar juga penting buat yang belum pengalaman mengajar. Oya, mumpung lagi teringat, usahakan sebelum kita mengajar anak orang, kita sendiri sudah saling latihan. Buat janji dengan tim kita di gampong, misal di meunasah. Latihan sendiri dulu, yang lain komentar dan beri masukan. Ingat, persiapan akan membuat kita lebih siap dan ngak canggung nantinya. Setelah mengajar pun harus membuat rapat evaluasi, apa yang kurang hari ini, apa yang harus diperbaiki, dan yang baiknya di mana.
Kawans, masa pengabdian terasa berat. Jujur, ya kan? Mulai dari makanannya yang tidak sesuai lidah, homesick, wah, banyak lagi dah. Saran, bawa cadangan makanan sendiri serta bawa satu buku motivasi. Ketika saya down, lelah, cape dengan perbedaan pendapat dengan kawan-kawan, maka buku motivasi akan berperan sebagai sahabat dan penyemangat kita. Intropeksi diri, memaafkan kawan-kawan. Soal konflik, terkadang tak bisa kita elakkan. Alhamdulillah bagi yang aman-aman saja, bahkan kompak. Namun, husnuzon saja, insyaa Allah ada hikmahnya. Ini penting untuk pendewasaan diri.
Saya sendiri membawa buku, Keajaiban Belajar karya Yunsirno, sebagai buku motivasi mengajar dan belajar, bagaimana cara mengajar yang asik buat anak-anak, dari mana kata-kata motivasi kita keluar untuk mereka, ya dari hasil bacaan kita.
Bawa juga buku bernuansa Islami, dan Al-quran. Jika dulu jarang membaca, usahakan di masa sulit ini rutinkan untuk membaca, meski hanya setengah halaman sehari. Mohon pertolongan kepada Allah agar dikuatkan dan diberikan solusi atas permasalahan kita. Usahakan tenang dan sabar, meski sulit. Niatkan kegiatan ini untuk ibadah dan dakwah, insyaa Allah akan bernilai pahala dan setelah itu akan ada pelajaran berharga yang kita  dapatkan. Namun jika tidak adanya keikhlasan, maka pekerjaan akan terasa lebih berat, dan saling berharap-harap untuk bekerja. Seperti pengalaman kami, ada kawan-kawan yang tidak ikhlas dalam bekerja sehingga mengerjai kawan yang lain dengan menghalang-halangi dalam membuat laporan KPM. Semoga Allah buka kan pintu maaf. Padahal, mereka menjadi saksi, bagaimana kawan tersebut berusaha dan bekerja, bahkan hingga sakit parah di tempat mengajar.  Pengalaman ini berharga sekali bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.

d.Jaga kesehatan dan P3K.

e.Disiplinkan menulis Buku Harian.
 Kalau ngak disiplin nulis buku harian, maka akan ribet kedepannya. Buku ini juga membantu kita pada saat sidang KPM nanti. Sebelum sidang, kita bisa membacanya kembali, sehingga punya bahan ketika ditanya nanti.

f.Menghindari Konflik sesama.

“Hati-hati jaga hati, jangan bermain hati, kalau tidak mau sakit hati,” begitu pesanku untuk 4 kawan-kawan seperjuangan di gampong itu.
Mereka adalah orang-orang yang hanif dan baik. Hanya saja, belum aktif dan bergelut di organisasi manapun. Alhamdulillah, Allah berikan kita kesempatan dalam keadaan High Quality Time dan aktif di beberapa organisasi. Pesan di atas saya sampaikan, berdasar pengalaman bekerja di lapangan selama ini. Salah satu masalah utama bagi anggota organisasi adalah saat terserang virus merah jambu. Kalau sudah begini, beban 5 kg aja bisa berasa 50 kg. Dampaknya adalah terhadap kelancaran program kita. Disini saya ingin tekankan bahwa berorganisasi itu penting banget, beda sekali kalau sudah masuk organisasi, lebih terlatih memenej diri dan mengatur program. Yang belum masuk UKM, silahkan masuk sekarang, sebelum terlambat. Sesuaikan organisasi dengan passionnya kalian.
Hargai dan motivasi kawan, misal Ratu, dia punya suara yang bagus maka puji dia dan suruh ia yang menajar nyanyi TPA dan tilawah. Atau Fadhil, pinter pidato, semangati ia untuk mengajar pidato untuk anak-anak. Surya, menunjukkan gelagat suka ngomong duluan dalam banyak sesi, maka tunjuk ia menjadi ketua. Sepertinya ia suka profesi seperti itu. Kalau pun ia masih kurang kompeten, maka tugas kita memberi masukan terhadap kawan tersebut. Urusan diterima atau tidak terserah dia, yang penting kita sudah ada i’tikat baik. Bagi kawan-kawan yang memang aktivis tulen, sedikit pesan lagi, jangan terlalu menonjolkan diri ketiga di lapangan, bisa saja maksud kita baik, namun belum tentu orang lain menganggapnya baik juga. Atau malah kawan yang lain menjadi minder. Pilih bahasa yang tepat untuk berkomunikasi.
Jalin kekompakan dengan solat berjamaah dan belajar mengaji bersama. Jangan canggung, ajak kawan kita. Kalau mereka tidak mau, ya sudah, jangan dipaksa. Setidaknya sudah ada i’tikat baik dari kita untuk
Terakhir, KPM Sukses nan Berprestasi.
Pembahasan ini khusus pengalaman saya di gampong tempat stay. Alhamdulillah saya bisa katakan, KPM saya dan 4 kawan lainnya berjalan sukses. Kami mendapatkan nilai 94 dari P2M, subhanallah. Nilai tertinggi adalah 96. Hehe saya gitu orangnya, suka buat survei sendiri. Wah, enak kali lah, dapat nilai tinggi ya, kak? Mencapai poin ini tidak semudah menulis angka tersebut. Butuh perjuangan berdarah-darah dan berair mata, nyan hana, stay di hospital teuk. Karena kesuksesan itu tergantung pengorbanan.
Selama KPM, konflik sesama terkadang memang tak bisa dihindari, termasuk saya sendiri. Saya juga bisa pahami jika ada yang kesal dengan saya. Wajar, saya memperlakukan kawan-kawan sama seperti kerasnya membimbing diri saya. Mungkin mereka tak biasa dengan sistem kerja di bawah tekanan, keuangan menipis, kegiatan juga harus yang subhanallah. Belum lagi tantangan-tantangan yang lain. Bagi yang belum pernah berorganisasi, hal ini terasa lebih berat.
            Dengan banyaknya tekanan dan rasa penolakan awalnya oleh pihak gampong, maka hal ini membuat saya khususnya dan kawan-kawan lain termotivasi untuk menunjukkan bahwa keberadaan kami disini memang bermamfaat. Saat itu, ketua kelompok sudah menyatakan “angkat tangan” untuk kegiatan Silahturrahmi Akbar ini. Namun tiba-tiba salah seorang teman mengatakan, kita tidak akan tau kita bisa atau tidak, kalau kita tidak mencoba. Akhirnya dengan berat, mereka pun ikut menjalankan ide ini.
Namun, saya bangga dengan 4 sahabat saya, mereka berempat telah sukses membuat kegiatan yang meriah yang seharusnya dilakukan di tingkat kecamatan. Mereka menjadi sosok yang baru nan berprestasi. Namun justru, mereka berempat adalah prestasi buat saya. Alhamdulillah, banyak perubahan.  Pada saat berlangsungnya kegiatan, kebetulan saya sedang tidak di lokasi, harus melanjutkan perjuangan lain mengharumkan nama UIN di kancah Nasional. Mungkin kita harus berkorban dulu untuk tidak disukai, tapi ketika kesuksesan telah diraih, maka mereka akan merindui sosok kita.
[Note: semua yang ada di tulisan ini tidak ada niat menjelekkan pihak tertentu, namun kita jadikan pelajaran untuk kedepan. Saya mohon maaf jika tidak berkenan. Sengaja tulisan ini dibahas dengan lugas, karena hal seperti ini sering terjadi].