Sabtu, 09 November 2024

MENJADI ORANG TUA YANG DIBANGGAKAN ANAK-ANAK NYA.




Jika suatu saat kita sudah tidak ada lagi, bagaimanakah pandangan anak terhadap sosok kita? Sudahkah kita persiapkan itu. Menjadi org tua yang dikenang karena mengeluh, atau ia bangga kepada kita.



Dari kecil, saat pulang sekolah atau pergi ke desa-desa di  seputar kecamatan kami, saya sering ditanya oleh orang-orang. "Anak siapa?"


Dengan bangga saya menjawab, "Saya Aneuk Teungku Aiyub Meunasah Tuha." Sambil tersenyum dan optimis.


Sedari saya SD, saya tahu ayah saya memang memiliki fans tersendiri dari berbagai kalangan diseputaran desa kami. Bagaimana tidak, namanya sesuai dengan cerita hidupnya. Aiyub. Kisah nabi Aiyub yang diberikan berbagai ujian dalam hidup, namun kesabarannya diluar batas logika manusia biasa. 


Meski ngak seberat ujian para Nabi, ujian hidup ayah kami termasuk luar biasa. Dan kami belum pernah berjumpa org sekitar kami yang sesabar ayah. Mungkin ada, tapi jarang dijumpai.


Mulai tahun 97' usaha Ayah yang turun temurun dengan kakek itu bangkrut di Sabang. Awalnya punya banyak pegawai, sampai tidak ada yang bersisa. 


Akhirnya pulang ke Sibreh, Ayah mulai kerja serabutan. Beliau memang hampir ngak punya pengalaman kerja fisik.

"Ayah kalian kan, dulu anak mudah (cukup berada kala itu), dimanjain sama keluarga. Ngak kayak Mamak, berjuang sendri dari kecil." Ucap mamak suatu ketika. 


Saat itu aku juga paham, kenapa ayahku sangat berkasih sayang. Karena ia bisa tumbuh dengan ideal, tanpa tantrum. Masalah ekonomi tercukupi. Beda dengan Mamak yang sedari kecil harus berjuang sendiri, karena kakek punya banyak anak. 


Karena ayah tidak berpengalaman kerja fisik, suatu ketika ia mengalami kecelakaan kerja. Tahun 97' masa sulit di Indonesia. Kerja apa aja dilakukannya. 


Karena kondisi genting, saat ayah diajak kerja menggali sumur, tanpa pengalaman memadai, tiba-tiba cincin sumur yang dipersiapkan akan diturunkan oleh teman ayah, malah bergerak dan akan jatuh ke dalam sumur. Sementara kawan ayah masih menggali di dalam. "Jika tidak ditahan, kawan ayah bisa meninggal terjatuh cincin itu, kan berat." Jawab ayah. Saat kami melihat lengannya yang lepas sebelah. Tersisa kulit saja yang bergantung. Bahkan sampai sekarang masih seperti itu. Karena saat ke rumah sakit, dokter di indo minta potong aja. Ayah ngak mau kehilangan lengannya.


"Udah keg gtu mengorbankan diri, kan... nga ada pun kawan ayah kasih support... BLA BLA..." Sambung Mamakku. Hahaha, mamak cendrung seperti manusia normal pada umumnya. Ayah saja paling beda sendiri di rumah. Paling sabar. 


"Iya, ga papa, kita harap balasan dari Allah saja..." Jawab ayah, ia pun tanpa sedikitpun mengeluh dengan rasa sakitnya. Jika tidak melihat ekspresi wajahnya, kita ga tahu kalau beliau sedang menahan rasa sakit. Beda jauh denganku, teriris tangan sedikit, teriakan beda satu kampung. Hahah🤭😆 toleransi rasa sakitku memang setipis tisu. makanya aku butuh pendamping yg sesabar Ayahku, kupikir kala itu.


Karena kesabaran dan kejujuran Ayah kami, beliau dipercayakan memegang posisi penting di desa kami. Bahkan uang 500 perak pun ia catat pengeluarannya. 


Suatu ketika ia didemo oleh beberapa pemuda desa yang agak ngiri. "Alahhh... Teungku Korupsi, dari mana uangnya bisa kuliahin semua anak-anaknya?" Desas desus seperti itu berkembang dimana-mana.


Sampai ke telinga ayahku. Hingga dengan bijaksana ayah bilang, datang saja kesini, nanti saya jelaskan alokasi dananya. 


Pemuda desa yang awalnya panas membara, pas sampai di rumah kami langsung disambut baik oleh ayah, dengan bahasa yg sangat sopan dan menghargai. 

"Awak droe neuh neutamong dilee... Piyoh..." (Mampir dlu)


Lalu ayah memberikan kodeagar Mamak menyediakan minum dan kue ala kadar. Karena kesabaran dan kelembutan ayah, para pemuda jadi mencair dari awalnya membara. 


Karena catatan ayah sangat detil dan bisa dipaparkan dengan baik, akhirnya satu persatu mereka keluar dari rumah kami, ambil selop Langsung chowww... 


Begitu selesai, suasana jadi sunyi. Nampak wajah ayah puas. Tetiba kami tertawa ngakak bersama Mamak. Hahahah... 

"Hana meupeu chap, mereka ga tau aja, Ayah bias anulis sedetil itu. Kan, Hana Pat meudawa." Kata Abang ku yang paling cerdas diantara anak Mamak yang lain. 


"Orang tu ngak tau aja, uang kuliah kalian kan, kerjaan Mamak yang tanggung. Mana kita koar-koar sama orang." Sahut Mamakku sedikit memanas. Kesal kali rasanya dituduh korupsi. Demi menjaga Marwah suami, mamak ngak pernah koar-koar kerja banting tulang buat kuliahin kami. Karena kondisi fisik Ayah memang sudh tidak bisa bekerja keras dengan satu lengan. Namun ayah selalu berusaha menjaga Marwah kelaki-lakiannya dengan bekerja apapun selama itu bisa dikerjakan. Bahkan kerja bangunan, meski tidak maksimal, karena kasih sayang orang-orang utk Ayah, mereka tetap mengajaknya bekerja. Bahkan sering kali ayah membantu pekerjaan rumah tangga, yg jarang dilakukan laki-laki Aceh umumnya. Karena ia tahu, mamak juga berjuang membantunya. 


Oya, Dalam keluarga kami tradisi menjaga kejujuran itu sangat penting. Mendarah daging. Mending ga makan kalau ngak jujur. Pendidikan ortu kami akan kejujuran itu cukup keras. Makanya aku ngak cocok jadi Pegawai Pemerintah Konoha. Pasti nyebelin buat mereka. Makanya aku milih bangun usaha kesehatan dan kecantikan #Waiteu ini, biar ga bergantung sama siapa pun. Bebas.


Jangan heran, dikeluarkan kami, semua kami kayak manusia kebanyakan, bisa julid juga, kecuali Ayah. Meski aku berusaha meneladani kesabaran ayah. Kami memang lebih kompak dengan Mamak, karena usia mamak cukup jauh berbeda dari ayah. Skitar 11th. Jadi Mamak lebih berjiwa muda. Hahaha 


"Udah -udah... Ngak perlu diperpanjang lagi. Alhamdulillah udah selesai masalahnya." Ayah berkata dengan lembut. Meski begitu kami semua patuh sama ayah. 


Suatu ketika aku kesal sekali sambil ngambek, "Ayah... Bang SyehSyoh itu ngata-ngatain ayah terus. Kog dibantu sih? Ngak ada yang mau dekat sama dia. Ayah ngak usah open dia." Ucapku yg kala itu masih awal SMP. 

Bang SyehSyoh (bukan nama sebenarnya), beliau itu sering mabuk-mabukan air Joek Masam (air Nira). Dan kalau sudah mabuk yang jadi pelampiasan hatinya itu adalah ayah kami. Kenapa? Karena sabarnya. 


"Alahhh..orang mabuk pun. Ngak usah digubris. Biarin aja. Mungkin beliau lagi ada masalah." Kata ayah.


"Tapi sebenarnya beliau baik loh, Nak. Kadang kalau lagi kondisi normal suka bantu Ayah." Kata Mamak ku, kali ini membela Ayah. Mamakku cukup objektif dan logis.  Meski ia juga kesal dengan Bang SyehSyoh yang selalu ribut-ribut depan rumah kami tiap kali ia mabuk-mabukan.


Hingga kini kondisi ayah sudah lengkap sudah ujian hidupnya, sudah 4 tahun ayah mengalami kebutaan karena Glukoma.


Bayangkan, tanpa lengan sebelah, mata juga buta, plus ayah juga pernah kena hernia. Ngak tau sering kambuh sekarang atau tidak. Tapi ia sangat sabar. Tanpa kami mendengar keluhan sedikit pun. 


Aku tahu ayah sakit kalau lagi kami panggil tapi beliau ngak jawab. Itu lagi sakit banget berarti. 


Tau ngak, aku cerita sedikit tentang Konsep rejeki yang ayah dapatka. Kalau kita sabar dengan ketentuan Allah tanpa mengeluh, ada saja jalan rejekinya. Rejeki bener-bener udah ditakar ngak ketukar.


Meski kondisi Ayah total di rumah saja saat ini, biiznillah Allah kasih hadiah lain berupa perekonomian keluarga yang jauh lebih stabil.


Alhamdulillah Allah banyak datangkan rejeki perantara Mamak yang masih aktif bekerja.

Kami pun ikut merasakan keberkahan doa dari orang tua.

Dan selalu ada saja rejeki yang datang untuk Ayah meski ia di rumah saja.


"Neuk, salam buat Teungku Aiyub, sampaikan amanah buat Ayah." Sering kali aku nemu org yang nitip amplop buat ayah. Baik kepada ku atau sama Mamak.


Dan uniknya Mamak hampir ngak pernah mau ambil uang itu. "Uang itu amanah buat ayah, biarlah dipakai untuk keperluan Ayah. Alhamdulillah Mamak ada gaji sendiri."


Rumah tangga Ayah dan Mamak kami jadi indah, karena kunci utama ada di Ayah sebagai qowwam. Ini pelajaran banget buat lelaki muda jaman sekarang. 


Rumah tangga itu akan sakinah sangat tergantung dari qawwamnya, setantrum apapun perempuan, kalau bisa diperlakukan dengan baik, ia akan setenang malam setelahnya. Ia akan berjuang untuk menyenangkan prianya.


"AYAAAHHHH! Kenapa taruh handuk basah di kasur!" Kata mamak suatu ketika, sambil lipat kain, hawa panas mulai naik sedari tadi magrib. 


Kebetulan kala itu Ayah buru-buru pergi ke Meunasah karena harus jadi Imam sholat magrib. Habis mandi, handuk basah langsung ditaruh di atas kasur. Mamakku yang agak perfeksionis ini auto tantrum sedari magrib. 


Baru pun ayah buka gagang pintu rumah, sudah di Dorrr. Kami semua automatis terdiam dan sunyi. Tapi bagaimana tanggapan Ayah?


"Apa Sayang.....?" Dengan intonasi lembut dan senyuman. Kalau lelaki lain auto naik pitam. Suami baru pulang sholat bukan disambut dulu, malah langsung di dor. Dan yang lucu itu adalah ekspresi mamak setelah mendengar perkataan Ayah begitu. 


"Droeneuh nah... Jangan lagi taruh handuk basah dikasur. Kan, jadi basah kasurnya.." kali ini suara mamak mulai melembut dsn bermanja. Hahahhaha😆😂 aku yang tepat berada disamping Mamak auto ngak bisa tahan ngakak. Semua kami tertawa tak tertahankan.


See! Perempuan tuh, cuman butuh digituin loh. Auto klepek-klepek lagi. 

Bukankah Aisyah juga pernah pecahin piring didepan tamu Rasullullah? Tapi Rasul tidak pernah membuatnya malu didepan orang lain. 


Kata Ayah, beliau juga cukup paham kalau Mamak kadang suka 'nge-rap' sendri. "Mamak itu kan, capek kali. Udah kerja di luar, kerja di rumah, lagi." Oh...so sweet. 


Tak jarang aku lihat mereka menunjukkan berkasih sayang. Ayah dan Mamak tidak pelit mengeluarkan kata-kata sayang, yang mungkin jarang terdengar di keluarga orang Aceh yang cenderung kaku, kecuali satu dua. Sebenarnya itu jadi vitamin buat anak-anak.


Kalau Mamak sedang marah dan mengeluarkan uneg-unegnya, sering kali Ayah hanya diam saja. Dan ngak lama setelah itu ada adegan Ayah mengusap rambut dan punggung belakang Mamak. Seolah tau, istrinya sedang sangat kelelahan. Ditambah kurang kasih sayang sosok Ayah sejak kecil. 


Tapi, untuk catatan, kata-kata Sayang ini lebih banyak dipertunjukkan justru saat kami sudah pasa dewasa, usia SMA. Waktu kami kecil hanya mereka berdua yang tahu. Dan aku rasa ini cukup baik.


 Alhamdulillah anak Ayah dan Mamak kami, biiznillah ngak pernah terlibat hubungan pacaran satupun. Aku bersyukur punya previllage menjadi gadis remaja yang tumbuh dengan Vit A (Ayah) yang cukup.


Lalu Allah jaga tidak pernah terlibat pacaran. Bahkan tidak tertarik sama sekali. Ketika kasih sayang sesuai porsinya dirumah didapatkan cukup, maka anak-anak ngak akan mencarinya lagi diluar rumah.


Alhamdulillah masa kecil kami cukup indah bersama Ayah yang berkasih sayang. Tidak pelit mengungkapkan kata-kata sayangnya kepada kami anak-anaknya. Kalau kami belum makan dan sibuk main, Ayah akan taruh nasi. Kalau tertidur didepan tivi akan digendongnya. 

Biiznillah masa kecil yang bahagia meski ekonomi biasa saja. Ini lebih berharga dari materi apapun.

Bahkan anak-anak lain dikampung pengen punya Ayah seperti Ayahku, "Syuhada, kita tukar Ayah, yok!" Kata Era BESTie ku. Ya ga mau lah.🤭😁 



Meskipun masih kecil, saat itu aku berdoa supaya Allah hadirkan pasangan hidup yang bisa sesabar Ayah. Tidak pernah jatuh tangan dan lisannya untuk menyakiti kami. Semua pelajaran diberikan dengan kelembutan, sampai kami sendiri merasa bersalah hingga tertusuk kedalam qalbu. Bahkan aku menghindari kenakalan masa kecil, karena aku terbanyang wajah ayah dan ibu yang akan malu jika aku buat kesalahan.



Wallahu'alambissawab...

Sebagai orang tua muda, meski anak baru satu. Aku ingin suatu saat anakku bisa bangga bisa beribu aku. Ia tak pernah menyesali dititip kepada kami didunia ini. 



Meski banyakkkk sekali PR yang masih harus ku selesaikan satu persatu. Tapi dalam doa, aku ingin selalu menjadi ibu terbaik yang bisa dibanggakan anak-anakku nantinya. 

Setiap kali bersikap tidak sabar kepada Omer, akhirnya aku akan tetap minta maaf dan memberitahu kondisi ku juga butuh dukungannya. 


"Kalau bukan Omer yang sayang dan bantu Mamak, siapa lagi? Karena Omer adalah hadiah terindah dari Allah yang pernah diberikan kepada Mamak." Alhamdulillah, pelajaran murah kata-kata berkasih sayang itu kami lanjutkan ke anak-anak kami.


----------------------


Tulisan ini, jadi flashback sendiri setelah mengikuti Kajian Orang tua di Kuttab al-Fatih.

Teladan Rasulullah mendidik Zaid bin Tsabit. Meski ia pelayan Rasul, namun beliau tidak pernah bersikap keras, dan selalu berlemah lembut. 


Bahkan pada saat anak membangkang sekalipun. Semua ada metode dan contoh teladan lengkap dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam untuk Ummatnya. Asalkan kita mau belajar dan cari tahu melalui shirahnya.


Tak heran, Rasullullah begitu dicintai.


Meski belum sempurna, dan takkan pernah sempurna, kita dengan ujian hidup masing-masing. Namun terus berjuang memutuskan mata rantai rasa ketidaknyamanan yg pernah dialami. Untuk memberikan pengalaman pengasuhan terbaik untuk anak-anak kita. 

Kalau pun sering kali buat kesalahan lagi, jangan pelit untuk sering minta maaf dan bilang sayang kepada anak-anak kita. 


Smoga Allah jaga agar selalu sakinah rumah tangganya. Anak-anak menjadi Qurrata 'ayun.

Minggu, 22 Juni 2014

Karena Asam Sunti Kita Berbeda


(Cerpen ini diperlombakan pada kegiatan Peksimida, Kampus Al-Muslim, Bireun. Alhamdulillah meraih juara 2 se-Aceh)




“Cuih! Rasanya asam sekali kuah ini,” Da Maneh meludah sisa kuah di mulutnya, sambil meletakkan sendok kuah setengah melempar ke dalam belanga tanah. Bibir melengkung ke bawah, dahinya berkerut. “Kalau tidak bisa memasak, ngapain menikah,” lanjut Da Maneh. 
Istri dari anaknya hanya diam saja, memaling sekilas, tak jauh dari belakang mertuanya. Ia seolah terlihat menyibuk di tempat pencucian piring kotor. Tak disangka, ternyata mulut mertuanya lebih asam dari kuah Asam Keueung yang dimasaknya.
Intan baru lah dua bulan menjadi menantu Da Maneh. Tepat bulan Mei lalu ia melangsungkan pernikahan sederhana dengan Mahlizar, laki-laki berkulit putih, mata kecoklatan dan rambut keriting. Dulu, mereka berjumpa di Bireun, saat sama-sama sedang singgah di rumah makan Sate Matang yang terkenal itu. Ketika itu, tersisa satu piring sate, namun ada dua pelanggan yang menanti, Mahlizar dan Intan. Sebagai lelaki, Mahlizar mengalah, mempersilahkan si pemilik rumah makan memberikan piring terakhir itu untuk Intan.
“Biar untuk adek ini saja, Pak,” kata pria yang mempunyai nada suara lembut ini.
            Si gadis menatap sang pria dan mengingat betul wajah itu. Ia terima saja jatah itu. Begitulah awal mula perjumpaan mereka, biasa saja memang. Tapi hal ini sungguh tak biasa di hati Intan Siti Zulaikha. Mahasiswi UIN Ar-raniry Banda Aceh, yang sedang melaksanakan Kuliyah Pengabian Masyarakat (KPM) di Bireun. Pembawaan Mahlizar yang lembut dan dianggap menghargai perempuan, telah berhasil memincut hati gadis 21 tahun ini.
***
Memang sudah adat orang Aceh Pidie, bahkan adat Islam sendiri, jika wanita yang dipinang oleh lelaki maka akan ikut dan tinggal bersama suami. Hal ini berbeda dengan orang Aceh Rayeuk, lelaki yang meminang, maka akan tinggal bersama keluarga perempuan.
            Perbedaan adat yang mencolok, sering tak terhindar dari masalah. Begitu juga dengan keluarga Mahlizar. Sejak pertama menikahi Intan, mertuanya memang tidak seberapa suka. Selain harga mayamnya yang cukup tinggi, 20 Mayam, ia juga dianggap sebagai gadis yang kurang bisa menjaga diri.
“Alah…, aneuk dara yang tinggal di kos itu, kan, kalau malam-malam kerjaannya melayani Om-Om hidung belang,” kata Da Maneh suatu ketika saat perkumpulan penarikan julo-julo di desa Sibreh.
Nyan keuh, Da Maneh. Saya sering mendengar langsung dari anak kos yang beli sayur sama saya di pasar Lambaro,” kata Ti Minah sambil mengunyah Timphan Asoe Kaya di mulutnya, sebagian isi Timphan moncrot keluar karena ia makan sambil bicara. “Kebanyakan memang awak blah deeh Seulawah,” sambung karibnya satu tumpoek duek tersebut. Wanita yang berselendang krem kusut dan baju merah tua bergetah pisang itu, kini mencomot Bada Pisang Abee.
“Demi kuliyah, semua mau mereka lakukan. Kalau kita orang Aceh Rayeuk, mana mau berbuat semacam itu.,” sambung Da Maneh lagi.
Jadi, tidak heran kalau Intan sering menjadi bulan-bulanan Da Maneh. Apalagi teman-teman kelompok julo-julonya juga menyampaikan dukungan seide. Bagaimana dengan anak laki-laki semata wayangnya itu? Mahlizar sering meyakinkan ibunya itu, bahwa Intan adalah gadis berbeda.
“Dia gadis baik-baik, Mak. Kuliyahnya di kampus agama pun. Meskipun tidak memakai baju kurung, dan jilbab lebar, tapi dia juga guru ngaji TPA di mesjid kampus,” jelas Mahlizar dengan lembut dan santun.
“Zaman sekarang, mana tentu. Yang kampus agama pun tidak jauh beda dengan yang umum,” selalu saja ada bantahan dari ibunya Mahlizar. Dalam persepsi ibu-ibu di kampong Sibreh, yang namanya anak kos memang negatif anggapan masyarakat. Karena tidak ingin durhaka, ia tak melanjutkan bantahannya.
***
“Allahu akbar, Allah…hu akbar,” suara azan magrib mengumandang.
Allahumma lakasumtu wabika aamantu…”Da Mane
h, Mahlizar,dan Intan berbuka puasa bersama.
“Abang, hari ini adek masak I Bu Peudah. Mau adek taruh ke pinee, kata Intan, lembut, setengah memanja. Maklum saja, mereka jarang sekali bisa berdua, kecuali di saat malam saja. Mahlizar yang bekerja sebagai tukang jual buah di simpang Lambaro sering pulang sore. Kadang-kadang harus ke daerah lain untuk mengambil buah langsung dari tempatnya. Misalkan, ke Takengon atau ke Bireun, seperti waktu pertama mereka bertemu. Awalnya Mahlizar ingin mengangkut panen papaya dari kebun koleganya.
I Bu Peudah, atau Kuah I, ini? Kog, tidak ada kelapanya?” Da Maneh buka suara saat membuka tutup saji biru dongker diatas meja makan. Rencana Intan ingin menyajikannya khusus untuk suami tercinta. Suasana berbuka hari pertama puasa yang awal syahdu, tiba-tiba menyeramkan. Hening.
Sebetulnya Intan tak ingin membantah. Ia sering dinasehati suaminya. Sebagai orang yang lebih berilmu, sudah seharusnya kita lebih sabar, apalagi dengan orang tua sendiri. Tapi, kali ini ia pun buka suara.
“Saya minta maaf, Mak. Waktu mau masak, di rumah tidak ada kelapa. Abang belum pulang. Kios jauh sekali, tidak ada motor ke sana,” jelas Intan pelan dengan wajah tertunduk, tanpa memaling ke arah mertuanya. Berharap mendapat pemakluman.
“Alah…,” sahut Da Maneh sambil melengkungkan bibir ke bawah dan berlalu pergi mengambil wudhu. “Kalau ada mau, pasti ada cara. Kan, bisa minta sama Nek Mariah di samping rumah sebentar,” tanpa melihat ke belakang.
Tinggal Intan dan suaminya. Meski berdua, sepertinya ia tak berkeinginan bermanja-manja lagi dengan Bang Mahlizar. Kalau bukan karena Bang Mahlizar, ingin sekali Intan membanting semangka bulat 4,5 kg di atas meja makan itu.
“Bang Mahli, Intan minta maaf.”
“Adek… Abang bangga pada Adek. Tidak ada yang harus dimaafkan.  Abang tau, sebetulnya Adek mengingat pesan Abang, jangan suka meminta ke tetangga, meski sesulit apapun.”
“Abang…” mata Intan berkaca, setetes-demi setetes membasaha pipinya yang putih kemerahan. Sekejap, tubuhnya sudah mendekap pemilik tulang rusuknya. Mahlizar pun membalas, memeluk dan mengelus bahu kiri istrinya.
“Abang sayang Adek,” (mengecup kening Intan). Sesaat erat berdua. Lalu, beranjak untuk shalat magrib berjamaah bersama, di kamar. Ibu mertua sudah duluan solat sendiri di ruang tamu depan.
***
Puasa sudah berlalu beberapa hari. Intan senang berada di bulan penuh berkah ini. Salah satunya, karena intensitas pertemuannya dengan Cut Bang tercinta semakin tinggi. Cukuplah mengobati stresnya bersama mertua di rumah.  Semenjak menikah dengan Mahlizar Intan memilih tidak melanjutkan kuliyahnya yang tinggal menyelesaikan skripsi saja. Gadis manis berparas ayu ini memang ingin mengabdikan diri sepenuhnya. Meski ada sedikit kekecewaan dari pihak keluarganya di Pidie sana. Sehingga pihak keluarganya pun ikut keberatan pada awal pernikahan mereka. Namun keinginan dua insan yang saling mencinta ini tak dapat dibendung. Toh, bukan untuk pacaran, tapi untuk menikah. Tak melanggar perintah Tuhan. Meski sederhana dan tak banyak tamu yang diundang, tapi mereka bahagia.
“Abang…” Intan melembutkan suara dan tersenyum manja kepada Bang Mahlinya. Dirangkulnya tangan kanan suaminya. “Sore ini kita buka puasa di luar aja, boleh?” “Berdua?”
“Eu eu… Berdua saja,”Intan mengiya, mata bundarnya semakin melebar, bibirnya terkatup dua.
Sudah lama Intan menanti momen langka ini. Menghabiskan sore, jalan-jalan ke Taman Rusa, sampai singgah ke Ayam Tangkap Pak Aiyub di Jembatan Ulee Kareeng. Romantis. Pikir Intan dalam hati. Mereka memang belum sempat menjalin hubungan pacaran sebelum menikah. Maklum, kesibukan di kampus, semester akhir sangat padat. Paling hanya sms-an dan saling mengirim hadiah. Mahlizar mengirim buah Melon Apel kesukaan Intan, dan Intan pun mengirimkan buku “Indahnya Merayakan Cinta,” karya Salim A.Fillah. Meski bukan orang yang suka membaca, tapi, karena hadiah dari Intan maka ia pun melahapnya sampai habis. Hingga tak ragu lagi untuk benar-benar merayakan cinta bersama sang gadis.
“Adek pesan apa?” Tanya Mahlizar sambil menatap istrinya lekat. Ia terlihat lebih manis dengan jilbab merah hati. Tapi, ada yang berbeda, pipinya mulai sedikit berisi.
Intan memesan Ayam Tangkap, potongan buah Melon Apel, sirup merah dengan serutan mentimun. Sedangkan Mahlizar memesan Mie Aceh, the dingin dan Cumi Pheb. Karena permintaan istrinya, ia juga membawa pulang makanan untuk ibu di rumah. Gulai Plik U dan Kuah Sie Kameeng jadi pilihan mereka untuk ibu di rumah. Sayang juga, hari ini beliau berbuka sendiri.
“Sayang juga, Mamak sering makan tidak enak gara-gara Adek yang masak.”
“Bukan tidak enak sayang, tapi beda selera saja. dan  Kan, masakan ureung Aceh Rayeuk berbeda dengan orang Pidie. Kalau di kampong Adek, Abang yakin, pasti masakan Adek enak banyak,” jelas Mahlizar sambil mencubit pipi istrinya yang mulai berisi.
“Ha? Enak banyak? Enak sekali.”
“Enak sekali, hanya sekali saja. Kalau banyak, tidak terhitung enaknya.”
“Hahaha…” Tertawa bersama, meski humornya garing.
“Ngomong-ngomong, adek sudah gendut sekarang, ya?”
            Intan tersenyum dan diam sejenak. Matanya mengarah ke kiri, tak memandang Bang Mahli sejenak. Sambil senyum simpul tersungging di bibirnya. Ia senang, baru sekarang Mahlizar benar-benar memperhatikan perubahan pada dirinya.
“Adek Hamil, Bang.”
“Betul, Dek?” Tanya Mahlizar meyakinkan. “ Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas nikmat-Mu ini. Sejak kapan Dek?”
“Sekitar sebulan yang lalu, Bang. Hal itu juga yang sebetulnya ingin adek kabarkan ke Abang, hari ini.”
            Selesai buka puasa romantis, mereka memburu pulang, agar bisa berjamaah di kampungnya, Sibreh. Di atas sepeda motor bebek merah silver, Intan memeluk erat pinggang suaminya. Dengan kecepatan sedang, magrib itu melewati Lambaro yang gelap dan sepi. Langit malam itu, mendung. Sesekali tangan kiri Mahlizar mengenggam tangan kiri istrinya. Seolah ia tak ingin kehilangan istri dan calon jabang bayinya.
***
Beberapa bulan berlalu. Kini usia kandungan Intan beranjak tujuh bulan. Artinya, sudah saatnya dilaksanakan prosesi Mee Bu. Mertua pihak laki-laki menyediakan khanduri kecil untuk kehamilan pertama si menantu perempuan. Buah-buahan, Bu Leukat Kuneeng, Tumpoe, Timphan dan Peunajoh Aceh lainnya disajikan. Mungkin lain tempat, lain pula sajiannya. Tujuannya untuk menyenangkan hati si menantu.
“Alah, hai Ti Baedah, saya malas sekali sebetulnya menimang adat seperti ini.”
“Yah, sudah begini adat nenek moyang kita, jalani saja. Adat tidak boleh kita  buang. Itu harus kamu ingat Maneh.”
            Tak sengaja Intan mendengar percakapan mertuanya dan Wa Baedah. Kalau saja bisa, ia lebih memilih untuk tidak usah saja diadakan tujuh bulanan ini. Selain merepotkan ibu-ibu dan para aneuk dara desa, keuangan suaminya juga menipis. Semakin hari, tingkah mertuanya semakin makan hati. Sebetulnya dia sudah tidak tahan lagi, tapi ia bersabar untuk suaminya. Suaminya pun tidak banyak membantah ibunya. Ia cendrung mendiami saja. Atau menyarankan sabar kepada istrinya.
***
“Wa Maneh, tidak lama lagi akan punya cucu ya. Selamat ya, cucunya orang Pidie. Hehehe,” Mirna menggoda Da Maneh. Makin panas hatinya. Kalau boleh memilih ia tak ingin bercucukan orang Pidie. Sepertinya rasa tak senang kepada Intan semakin menjadi-jadi, bahkan sekarang mulai turun ke cucunya. Sebaik dan sesabar apapun menantunya, seolah tak ada artinya apa-apa bagi Da Maneh.
“Jangan banyak eek minyeuk, sini! Bantu Wa mu ini menyiapkan buahan.
“Hahaha, get Wa,” kata Intan yang masih sepupu jauh Mahlizar. Jika tak menikahi Intan, maka anaknya akan dijodohkan dengan gadis ini. Biar harta warisan tidak lari ke orang lain, pikir Da Maneh. “Apa saja Wa, yang harus ditaruh di tafsi?” Tanya gadis berkerudung kuning dengan poni keluar kedepan.
“Yang murah-murah saja, papaya ada di belakang rumah. Kau petik sebentar. Oh ya, Sirsak juga bisa, samping pohon Jeruk nipis di samping kandang kambing. Biar Apel sama Pir ini kita simpan saja. Sayang, terbuang-buang.”
Dari pagi pihak mertuanya sudah menyiapkan sajian khanduri Mee Bu untuk tujuh bulanannya Intan. Rombongan keluarga Intan baru akan sampai nanti siang
***
“Assalamu’alaikum…” rombongan dari Pidie sudah tiba ke Sibreh.
Piyoh, besan…” sambut Da Maneh dengan senyum dibuat-buat. Ia ingin terlihat ramah di depan penduduk desa. Da Maneh menyambutnya sendiri, karena Mahlizar sudah lama yatim, sejak ia masih kecil umur sembilan tahun, ayahnya meninggal jadi korban konflik.
Setelah berkumpul rombongan dari Pidie, dan makanan sudah disajikan, serta diatur dengan rapi di Seuramoe Keu. Intan duduk bersama mendampingi orang tuanya. Begitu juga Mahlizar, ikut mendampingi istrinya yang perutnya kian membesar.
Tiba-tiba.
“Hai! Apa kalian mau membunuh anak saya!?” suara Ibunya Intan menggelegar seruangan. Suasana mencekam. Tetamu keheranan. Begitu juga dengan warga desa yang menghadiri khanduri. “Intan, ayo kita pulang segera, betul lah firasat Mak selama ini, ternyata kamu memang diperlakukan dengan kejam.”
“Kenapa begitu, besan? Jangan marah-marah” tanya Da Maneh mulai memanas juga.
“Apa jangan marah-marah! Anak saya mau kalian racuni jus Sirsak dan Jeruk Nipis, apa tidak marah.” Seseorang menyajikan Sirsak blender dengan potongan jeruk nipis di samping gelas. Bersama buah-buah dan jus yang lain disediakan diatas tafsi.
Jak peh teem. Saya tidak melakukan itu. Saya juga orang percaya Tuhan. Meracuni orang lain dosa besar. Saya TIDAK melakukan itu!” Da Maneh terpancing dan kini berkacak pinggang.
Ibu Intan menarik tangannya  di seblah kiri dan ayahnya di seblah kanan.
“Ayah sedih melihatmu begini. Seumur hidupmu nyamuk pun tak akan ayah biarkan menggigitmu, sekarang mau diracuni orang. Ayah tidak terima. Ayo kita pulang Nak!” Ayahnya jauh lebih tenang dari ibunya.
            Jelas, Intan terkejut dan tubuhnya berguncang. Jilbab merah jambunya basah di bagian pipi.
“Alah hai Pidie Prak! Bawa pulang sana, anakmu! Aku pun tak sudi menantukan dia.” Da Maneh emosi.
Mahlizar memegang ibu dan menenangkannya. “Cukup, Mak, cukup. Tidak baik orang tua seperti ini.”
Mobil Kijang ‘90-an berwarna silver mulai dihidupkan kuncinya. Satu persatu pemiliknya masuk. Bahkan dalam keadaan sangat terburu. Mahlizar terlambat menyadari istrinya sudah di mobil. Jaraknya tiga puluh meter dari teras rumahnya.
“Adek… Tunggu!...” Teriak Mahlizar sambil terus mengejar laju mobil yang membawa istrinya.
            Rumah Mahlizar tak jauh dari jalan raya simpang Sibreh. Mobil yang tadi lambat karena berdesak kini mulai cepat, karena di jalan raya tak ada lagi deretan parkiran tetamu. Mahlizar terus mengejar hingga ke jalan raya. Sebelum mobil Kijang itu sampai ke belokan simpang, sebuah Carry Honda merah melaju kencang, mobil itu mendadak mengerem ketika melihat ada pria yang berlarian di tengah jalan. Tiba-tiba…
“Braaak!”
“BANG…!” Jeritan Intan sejadi-jadinya.



Lembar Keterangan;
Asam Sunti: belimbing sayur  yang dikeringkan, ditaburi garam
Mayam: satuan emas di Aceh. 1 Mayam= 3,33 gram emas
Aneuk dara: anak dara
Julo-julo: sebuatan untuk arisan di Aceh
Nyan keuh: itu lah (kalimat meyakinkan)
Awak blah deeh Seulawah: Sebelah sana gunung Selawah (sebutan untuk orang Pidie oleh orang Aceh Rayeuk)
Tumpoek Duek: kerumunan ibu-ibu (konotasi negative, ibu-ibu tukang gosip)
Piyoh: mampir
Seuramoe Keu: Serambi depan Rumoeh Aceh
Jak Peh Teem: omong kosong
Pidie Prak: sebutan orang Pidie, karena dianggap pelit
Tafsi: talam kecil


 #Mohon saran dan masukannya lagi oleh pembaca budiman. Beberapa komentar dari:
-K.Nuril: EYD kurang
-K.Beby: Endingnya bahaya, tidak boleh lari dari masalah. Ini kesalahan fatal. Padahal niatnya mau bikin tragis aja.


Selasa, 20 Mei 2014

Seorang Laki-laki Kecil Melamarku

Mungkin dia laki-laki pertama yang sangat pemberani mengungkapkan keinginan menikahnya denganku. Tapi, ku anggap  gurauan dan hiburan saja. Mesti sempat juga tersipu malu-malu lalu dibarengi tawa lepasku.

Mungkin ilustrasi rada ngak sesuai. heheh, tak da foto laen.

“Kalau saya sudah berumur 24 tahun, saya mau menikah dengan ustazah (saya),” kata Reza, laki-laki putih yang masih berusia 7 tahun itu kepadaku. Aku sempat terdiam dan tidak percaya murid TPA ku itu bisa mengucapkan kata-kata tersebut padaku yang sudah berumur 21 tahun. Namun tak lama, tawaku pun pecah dan hanya senyum tersipu setelah sebelumnya hanya terdiam tanpa bisa berucap sepatah kata pun. Ku perhatikan lebih jelas ke wajahnya. Apa yang salah dari anak ini. Ia tiba-tiba saja mengeluarkan kata-kata itu pada saat latihan pidato sedang berlangsung. 

“Ustazah manis, tapi kalau tidak ada tailalatnya, hahaha,” tertawa Reza lepas dan  terlihat puas sekali setelah mengataiku. Aku hanya bisa mencubit pipinya. Lalu ia berteriak, “Aw!” dengan cara yang centil. Kali ini sedikit dongkol aku padanya, ni anak kog jujur banget. Memang lah kulit wajahku yang kuning langsat tampak mencolok dengan 5 tailalat di muka.

Tak menunggu lama, aku langsung menjelaskan tentang apa yang barusan ia katakan dengan semampuku. Maklum, ini kali pertama menjumpai laki-laki kecil berfikiran dan berbicara dewasa. Posisi duduk antara aku dan Reza awalnya hanya setengah meter saja, namun cepat ku ubah dan menjauh darinya.

“Udah ya Reza, sekarang panggil kawan yang lain,” pintaku padanya untuk memanggil kawan lain yang sedang menunggu gilirannya. Setelah hari itu, saya berusaha lebih banyak membaca buku-buku psikologi dan parenting. Serta berdiskusi dengan pengajar yang sudah berpengalaman, supaya mendapatkan pencerahan. Karena pada saat saya lapor ke pihak TPA, mereka hanya menggap kelucuan semata. Namun tidak bagi saya, saya semakin penasaran dan mendalami karakter si anak. Bukan, bukan karena dia menyatakan perasaannya, tapi karena kekhawatiran saya akan masa depannya. Mungkin saja sebenarnya ia tidak betul-betul paham terhadap apa yang ia sampaikan tersebut.

Pada lain kesempatan saat aku sedang mengajar kelompok santriwan 6-9 tahun, Reza yang masih berumur 6 tahun sempat mengatakan hal aneh pula. Namun pada saat itu, sama sekali tidak ku hiraukan. Ketika itu aku bersikap tegas terhadap Reza yang melakukan kesalahan, rupanya ia mendongkol. Tak lama kemudian saat kuajak ia bicara namun ia malah mengatakan, “Eh, ngapain ngomong-ngomong sama saya lagi! Kita kan, sudah putus!” kata Reza setahun sebelumnya.
Santri-santri yang lain pun tak tinggal diam, memamfaatkan situasi dan ikut menggodaku. “Ciye...Ciye... Reza pacaran sama Ustazah...” kata Razi dan disambut secara koor oleh santri yang lain.

“Apa itu pacaran Nak? Kita ngak boleh ngomong yang kita belum tahu. Kita harus tahu dulu, baru ngomong,” jelasku yang belum banyak pengalaman mengajar. Sekitar tujuh orang anak dalam satu kelompok itu saling mengemukakan pendapat. Aku mendidik mereka memang demokratis, masing-masing boleh mengemukakan pendapat. Setelah itu barulah aku memberikan penjelasan kepada mereka. 

Sebagian besar anak menjelaskan dengan cara yang salah. Tapi tidak dengan si Reza, sepertinya ia sangat tanggap dengan masalah seperti ini. Dari mana ia mendapatkan pengetahuan sejauh itu, pikirku. Lalu ku luruskan masalah tersebut. Positif thinking saja, momen ini ku ambil untuk menjelaskan pengertian pacaran, hukumnya dalam agama Islam, bahaya, dsb. Anak-anak sekarang memang harus dijelaskan sejak dini. Namun tentu dengan batasan dan sesuai dengan umur mereka. Disinilah guru dituntut untuk leboh cerdas dan mengasah diri dengan banyak referensi. Pada saat aku menjelaskan, sempat aku bertanya lagi,
“Nah, boleh ngak pacaran itu?”
“Ngak...”jawab semua santri secara koor. Namun seperti ada satu suara sumbang disitu. Kuusahakan mendengar lebih jelas lagi.

“Siapa yang bilang boleh?” tanyaku lagi.
“Saya, Ustazah,” sahut Reza dengan tenang dan mengancungkan telunjuk.

“Ngak boleh, e...” kata kawannya yang lain.
Aku hanya diam, sengaja menunggu kelanjutan dari penjelasan si Reza. Kali ini semua mata tertuju padanya, menanti penjelasannya.
“Iya kan, Ustazah? Kalau sudah menikah, sudah boleh pacaran. Kan, sudah sah,” jawab Reza mantap sambil tersenyum puas.
“Em... iya, benar juga sih kata Reza. Pacaran baru boleh dilakukan setelah menikah,” jelasku dengan perasaan keheranan, tidak menyangka Reza bisa berfikir sejauh itu. Dengan mantap dan sangat cerdas. Cara berfikirnya luas, seperti bukan anak berumur 6 tahun saja.
“Nah, nikah itu bagaimana sih?” tanya Razi yang mulai antusias dengan topik ini.
“Nikah itu...” belum habis Reza bersuara, tapi dengan cepat aku terpaksa memotong. Aku khawatir jika Reza memberikan informasi yang belum terfilter sehingga bisa mempengaruhi kawan-kawan yang lain. Apalagi pikirannya tentang itu terlalu dewasa untuk anak seumurannya. Penjelasan ku ambil alih sekarang. Sedangkan Reza hanya terdiam dan terus menatap lekat-lekat ke arah wajahku. Seolah pura-pura tak tahu, aku pun juga melirik memperhatikan pola tingkahnya. Saat ku tatap ke arahnya, ia langsung memalingkan wajahnya.

Kisah ini adalah ironi pertumbuhan anak-anak masa kini. Ia terlalu dewasa saat usia masih kanak-kanak. Pengaruh pendidikan, pola asuh dan lingkungan sangat menentukan ia. Apa jadinya kelak ia setelah dewasa. Reza hanya salah satu fenomena gunung es. Dan ia hanya bersikap begitu kepadaku, sedangkan dengan guru-guru yang lain ia bersikap normal layaknya anka-anak seumurannya. Berkepribadian ganda, pikirku. Bisa jadi hal ini juga menimpa anak kita yang terlihat diam dan polos. Batasi pergaulan si kecil. Setelah beberapa kali mencari informasi tentang Reza, baru lah saya tau, ternyata “pengetahuannya” itu berasal dari seorang “Oom” kawan mainnya. Secara diam-diam ia juga memperhatikan bahkan melakukan  apa yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut. Termasuk browsing internet tanpa pengawasan. Sudah pasti semua sampah masuk ke otaknya, tanpa terfilter.