Kamis, 27 Juni 2013

Ibu yang “Fanatik” Miyako

“Miyako ya?” Pesan ibu sesaat  sebelum membeli kipas angin baru bewarna biru putih seminggu yang lalu. Keren, baru tau ada kipas angin yang sudah ber-remote pula. Jadi ngak susah-susah kalau mengaturnya pada saat tidur.
Entah kenapa ibuku dan beberapa orang kampungku begitu fanatik Miyako. Katanya “Miyako koeng (tahan lama, bahasa Acehnya), dan terjangkau lagi.” Hampir semua barang elektronik yang sudah kami miliki dirumah mereknya Miyako. Pertama sekali beli Blender, asli tahan dari kami SMP dulu, sampai mau tamat kuliyah sekarang ini. Dan ketika bersilahturrahmi ke beberapa rumah tetangga pun, banyak peralatan elektronik woro-wiri nama Miyako, terutama dispenser. Bahkan hampir satu kampungku menggunakan dispenser Miyako.
Bagi keluarga kami yang sederhana, membeli barang elektronik bukanlah hal yang mudah, tapi kami perlu menabung berbulan-bulan terlebih dahulu. Bahkan terkadang, membeli barang elektronik menjadi impian tersendiri. Seperti bulan puasa satu tahun lalu yang sangat panas. Apalagi di Aceh, betul-betul lengkap ujiannya lah.
“Seandainya ada kipas angin, ya Allah,” lirih ibu. Dan hal senada hampir diucapkan oleh kelima penghuni rumah yang lainnya, abang dan adik-adikku juga.
“Tuh kan ada AC alam. Besar lagi, orang kaya mana punya,” begitu cara ayah yang memang berkarakter sabar dalam menyabarkan kami. Maksudnya itu adalah dinding rumah yang terbuat dari kayu ala kadarnya yang bolong disana-sini, sehingga banyak angin berkeliaran keluar masuk lewat lobang tersebut. Sedih mendengarnya. Tapi, ini kami jadikan motivasi. Ibu menabung dari hasil jual kacang goreng yang dititipkan ke warung-warung kopi.
Impian ibu, Blender, setrika, kipas angin, ricecoocer dan yang terakhir dispenser yg belum diwujudkan. Mungkin ke depan bisa nambah lagi. Tapi itu yang paling pokok terlebih dahulu. Kalau tidak ada setrika, baju tidak rapi, kalau tidak ada ricecooker, nasi bisa hangus melulu, dsb.
Nah, sekarang saya sedang berusaha menabung untuk membeli dispenser impian ibu. Membayangkan wajah ibu yang ceria saat pulang dari sawah walau kecape’an dan berpeluh, tinggal kuambilkan gelas dan, srettt! jadi  deh, langsung minum. Tidak seperti biasanya yang harus menunggu dimasak air terlebih dahulu, serta menimba air yang jaraknya 10 meter dari dapur.
 Belakangan kami sering sariawan dan panas dalam karena kekurangan minum. Habis, lama-kelamaan jadi malas juga kalau harus memasak air terlebih dahulu sebelum minum, padahal baru pulang dari aktivitas sehari-hari yang menguras tenaga. Ya, terpaksa beli air mineral kalau sudah genting. Tapi, hal ini justru boros jadinya. Uang jajan yang seharusnya bisa digunakan untuk yang lebih bermamfaat malah harus dihabiskan hanya untuk membeli minum.
Oleh sebab itu, saya bertekad, semoga bulan puasa ini, Allah dengan kemurahan hatinya memberikan rezeki untuk kami membeli dispenser. Giat menabung dan bekerja lagi. Saat ini aku sedang mengajar di sebuah les, nyambi kuliah. Jadi aku sisihkan sedikit demi sedikit dari kebutuhan kuliyahku yang menginjak semester akhir ini. Semoga dispenser impian ibu bisa tercapai pembeliannya. Seperti  pada saat ibu bermimpikan membeli setrikaan. Wajah ibu terlihat sangat sumringah saat ku bawa pulang sebuah setrika listrik bewarna biru putih (warna favorit sepertinya, hehehe).Kira-kira sekitar dua setengah tahun yang lalu.
 “Berapa Neuk (Nak)?” Tanya ibu tentang harganya.
“Tenang aja bu, ngak dijual lagi kog. Hehehe,” jawabku sedikit becanda. Namun enggan menyebutkan harganya. Mungkin ibu berfikir dengan kualitas segitu pastilah harganya cukup sulit untuk ku tebus yang kala itu baru mendapat gaji pertama mengajar les. Uang yang kuhasilkan secara susah payah itu, untuk pertama kalinya ingin ku persembahkan untuknya, demi menyenangkan hati  wanita mulia itu. Kebetulan aku sangat terkejut melihat label harga di sebuah toko elektronik di Banda Aceh tersebut. “Ha? Miyako hanya Rp 75.000, mending ini aja lah?” pikirku disudut toko tempat setrikaan dipajang berbagai merk. Wah, bersyukur sekali. Uang pertamaku yang totalnya Rp150.000 tak habis semua. Karena awalnya aku fikir sampai seratusan ribu lebih.
Ini pengalaman pertamaku membeli barang elektronik untuk keluarga. Ada rasa bangga disana. Senaaang sekali rasanya. “Mak, udah ngak usah gosok pakai arang lagi ni,” ucapku saat ibu membuka bungkus setrika itu sambil membaca kertas intruksi penggunaan. Ibu hanya membalas dengan senyum yang indah tanpa berkata-kata. Justru inilah indahnya. Mendapatkan impian dengan berusaha sungguh-sungguh.

Selasa, 11 Juni 2013

Tiba-Tiba Aku Skizofrenia




Selasa,14 Februari aku beranjak ke Pustaka Wilayah. Dengan membawa niat mengembalikan buku yang aku pinjam seminggu yang lalu. Setelah mengembalikan buku-buku itu dan mengucapkan terimakasih, aku beranjak ke rak buku yang belum pernah aku pergi sebelumnya semenjak dua tahun aku mengenal perpustakaan itu. Tepatnya disudut ruang dewasa I. Mataku tertuju ke rak Keperawatan. “Apa sih yang dipelajari anak keperawatan, kog banyak banget yang memfavoritkan jurusan ini?,” pikirku dalam hati.
Mereka Bilang Aku Gila, itu judul buku yang kuambil, karya Ken Stele dan Claire Berman. Di sampul belakang tertulis, “Bunuh dirimu...Bakar tubuhmu...Gantung dirimu. Dunia akan menjadi lebih baik tanpamu.” dan seterusnya. “Wih, gaswat (baca:gawat) juga ni buku. Kayaknya seru ni ,” pikirku. Lalu ku putuskan untuk meminjamnya.

Sesampai di rumah magrib itu, langsung ku menunaikan sholat magrib. Setelahnya melakukan aktifitas mengaji dan mengajarkan ngaji untuk adik-adik sepupuku. Setelahnya makan malam selama setengah jam. Terdengar suara televisi dihidupkan oleh mamakku, aku pun tak bisa menahan diri dengan rayuan suara itu untuk tidak menonton, meskipun itu acara yang paling tidak kusukai. SINETRON Indonesia yang paling lebay deh pokoknya. Jadi, intinya dengan segala rutinitas malam itu aku terlupakan untuk segera membaca buku itu.

Keesokan harinya ketika akan berangkat ke Kampus, eh kampus masih libur. Tidak tahu lah pokoknya hari itu aku berangkat mau kemana. (aku memang sering begitu orangnya). Kupindahkan isi tas kemarin. Eh, aku beru teringat lagi buku yang bercover kuning kecoklatan itu. “Ya sudah lah, kamu di rak dulu nanti kalau aku pulang baru aku baca lagi,” kataku kepada buku 436 halaman itu.

Setelah beberapa hari berlalu, ternyata aku masih saja lupa untuk membacanya kembali, hingga waktu pengembaliaannya pun tidak lama lagi.
Malam Minggu, aku berniat merapikan rak buku di kamar. Aku kembali melihat buku terbitan Qanita itu. Disampingnya aku juga melihat buku penulis Purnadina, Menjadi Pembelajar Sejati. “Ah, aku kan ada tugas meresensi buku ini dari FLP, baru setengah yang aku baca. Tapi, aku penasaran sekali lah dengan buku Mereka Bilang Aku Gila. O ya, berarti aku harus kebut baca buku ini dulu, malam ini, dan berharap dua hari lagi siap, ok. Gooo,” komunikasi intrapersonal terjadi dalam diriku.
Em... buku yang bagus, yang paling aku suka bahasa dalam buku ini sederhana, sehingga aku bisa membacanya dengan speed reading namun tidak kehilangan makna. Deskripsinya juga bagus, seolah aku bisa membayangkan tokoh yang diceritakan di dalam buku. Isinya begitu meresap keingatanku. Diatas tempat tidur aku membacanya, suasana kenyamanan yang mendukung membuatku tak tersadar bahwa sudah banyak halaman yang terlah lewat kubaca. Dan, tak tersadar pula aku telah tertidur (dalam keadaan belum siap untuk tidur biasanya).
Bugh.......! (ini bukan bahasa Inggris), bunyi pintu kamarku terbuka mendadak. Aku terkujut dan tersadar dari tidurku, lampu neon panjang 1 meter di kamarku belum kumatikan, ini membuatku tidak segera membuka mata walau sudah tersadar. Badanku pun lemas, karena posisi tidur yang tak beraturan,( maklum, namanya juga tidur yang tidak disengaja).
“Syuhada................. bangun!, itu motornya masukin kerumah!, sudah jam berapa ini?,” ternyata mamakku yang membuka pintu dengan keras serta memanggilku setengah berteriak. Mamak paling marah kalau aku kemalaman memasukkan sepeda motorku kerumah, karena takut suaranya dapat mengganggu tetangga lain yang sudah tertidur. Kemudian ntah apa lagi yang mamak katakan. Aku yang baru terbangun antara setengah sadar dan tidur tidak jelas kali mendengarkan apa yang mamak katakan. Yang jelas, ketika mendengar kata-kata mamak, kepalaku terasa sakit dengan sangat, dadaku panas seperti gunung api yang mendidih, tubuh sedikit gemetaran, ku gigit gigi serta menarik nafas lewat mulut. Melalui sela-sela gigi, udara itu masuk sehingga mengeluarkan bunyi ketika bertemu dengan air ludah, seperti suara menghirup air ketika minum. Tak hanya itu, jantungku seperti berdetak kencang. Dan secara keseluruhan aku merasa tubuhku gundah. Seperti ada bisikan dalam hati, bahwa aku benci dengan kata-kata mamak, semakin banyak ia bicara semakin bertambah kebencianku. Suara-suaranya seperti ancaman bagiku.
Aku bangun dari tempat tidur dengan mata tertutup, kemudian sedikit terbuka ketika akan berjalan. Mamak terus berbicara didepan pintu. Tak sanggup ku dengar rasanya. Aku bangun dan berjalan dengan menyentak-nyentakkan kaki ke lantai. Dengan kedua tangan kuangkat ke kepala, dan menggenggam keduanya ke jilbabku, seperti sedang menggenggem rambut. Karena pada saat tertidur aku masih mengenakan jilbab kaos berwarna hitam. Kemudian aku berjalan keluar kamar melewati mamak yang sedang di pintu kamar tanpa ku hiraukan dengan sepatah kata apa pun, apalagi memandang kearahnya. Jelas, ekspresi mamak sangat marah. Karena, hal yang paling membuat mamak marah adalah tidak mempedulikan atau cuek terhadap apa yang ia katakan. Entah ‘lagu’ apa lagi yang mamak ‘nyanyikan’ untukku. Melihat tingkahku, kemarahan mamak benar-benar memuncak malam itu.
Tubuhku seperti tergerak sendiri menuju kamar mandi belakang. Setelah kutimba air, kemudian aku berwudhu. Dinginnya air wudhu dan gelapnya kamar mandi tak berlampu, membuat kesadaranku sedikit kembali. “Tadi itu kenapa?,” tanyaku dalam hati. Kemudian aku kembali ke kamar dan mengambil mukena untuk melaksanakan sholat Isya. Karena tadi tertidur cepat dan belum sempat melaksanakan sholat Isya. Badanku memang bergerak sendiri untuk melaksanakan sholat Isya, dan kalau pun tertidur pasti tidak nyenyak dan terbangun lagi. Mungkin ini yang dinamakan jam biologis.
Ketika sholat aku masih merasakan kegelisahan bahkan hampir menangis. Selesai sholat, kesadaranku seperti meningkat. Aku masih bingung apa yang sebetulnya terjadi dengan diriku. Kini sudah tidak terdengar lagi suara ibu. Kemudian aku teringat apa yang telah aku lakukan kepada ibu. Sekarang aku benar-benar menangis. Apa yang telah ku lakukan sebagai seorang muslimah. Aku tahu, malam ini aku telah  benar-benar berdosa kepada mamak.
Dengan kondisi bingung, kalau tidak bisa dibilang setengah sadar aku melanjutkan prosesi tidur dengan sempurna, sudah menggosok gigi, menyapu tempat tidur 3x dengan membaca ta’awuz, membaca doa tidur.
Keesokan harinya. Setelah menunaikan sholat subuh dikamar.
“Neuk (nak)..............., tolong lihat air dikompor bentar, kalau sudah mendidih matikan ya?,” itu suara mamak, kali ini ia memanggilku lembut.
“Ha?, mamak memanggil aku apa?, neuk?,” bicaraku dalam hati karena terkejut dengan panggilan mamak untukku. Mamak akan memanggilku Neuk apabila aku berbuat baik dan kalau ia sedang senang hatinya. Tapi kalau ada kesalahan yang aku lakukan dan ia tidak senang, maka ia akan memanggilku dengan nama.
“Ya, mak...,”jawabku juga lembut.
Pikiranku kembali mengingat kepada kejadian tadi malam. Pagi ini kurasa kesadaranku sudah penuh. Walau badan masih sedikit terasa pegal.
“Yang tadi malam itu, mimpi bukan ya?. Tapi kog mamak biasa aja tuh, seperti tidak terjadi apa-apa,” pikirku dalam hati.
Sikap mamak memang biasa saja. Biasanya kalau ada kesalahan yang aku lakukan, bisa-bisa seharian mamak diam-diaman kepadaku. Tapi, pagi ini, wajah mamak justru secerah mentari seperti biasanya. Seolah memang tidak terjadi apa-apa tadi malam.
***
Sampai sekarang belum mampu kupahami, kenapa aku sampai bisa melakukan hal itu. Mungkin tuhan ingin aku merasakan bagaimana rasanya menjadi skizofrenik. Dengan kejadian itu, aku lebih menghargai kondisiku yang sekarang ini. Tuhan memberikan kehidupan yang normal untukku. Tak terbayangkan, bagaimana rasanya menjadi penderita Skizofrenia selamanya, dengan selalu dihinggapi bisikan-bisikan aneh yang mengontrol kehidupan, bahkan menyuruh penderitanya (skizofrenik) untuk melakukan bunuh diri, perasaan gundah gelisah yang luar biasa, selalu menghantui.
Aku katakan, cukup semalam!, cukup  malam itu saja ya Rabb. Ampuni hamba yang banyak mengeluh dengan segala kekurangan yang Engkau berikan. Ampuni hamba yang jarang melihat apalagi bersyukur terhadap nikmat dan kelebihan-kelebihan yang Engkau berikan.