“Karena ia sangat dalam mencintaimu, nak,” kata nenek
tua berbaju merah motif pernik-pernik kecil.
“A-pa?... “ Shahida tersentak berat,
badannya gemetar hebat. Nada suaranya mendadak tinggi di depan wanita tua itu.
“Kenapa ia tak pernah mengatakannya padaku?” lanjutnya.
“Mungkin ia berfikir, kalian tak akan
bisa bersatu. Atau tak ingin membuatmu terluka setelah kepergiannya.”
“Dasar bodoh!” Shahida kesal dan
meninju tembok dengan genggaman tangan kanannya sampai lebam, ia tak bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari
mulutnya. “Apa ia tidak berfikir, aku jauh lebih sakit dengan cara seperti ini.
Menghadapi kenyataan, bahwa aku tak bisa bersatu dengan laki-laki yang sangat
aku cintai.
Tubuh gadis 22 tahun itu
semakin berguncang keras. Banjir air mata tak terbendung lagi dari pelupuk
matanya. Ia tak bisa menahan menumpahkan kekesalannya di hadapan wanita tua
yang tak lain adalah nenek dari orang yang ia
cintai, Al-Fatih. Lelaki yang terbunuh beberapa hari yang lalu oleh
agresi polisi PBB karena diduga teroris.
Wartawati asal Indonesia
ini telah lama menyimpan rasa kepada lelaki Turki yang mempunyai sifat beku
melebihi kutub Utara itu. Ia sangat terpukul, karena lelaki yang selalu
terlihat dingin itu diam-diam juga menyimpan rasa padanya. Yang paling
menyesakkan dadanya, Fatih terbunuh karena ingin berkorban menyelamatkan
dirinya yang disandera oleh pihak yang diduga teroris. Padahal semua hanya
jebakan. Komplotan itu merupakan bagian dari polisi PBB.
Al-Fatih, lelaki muda
berusia 24 tahun ini memimpin sebuah proyek penyerangan kembali terhadap pihak
lawan. Ia yang jenius dalam bidang Fisika dan Kimia di bangku sekolah, mulai
berguru langsung dengan para ilmuan diusia 14 tahun. Tak heran jika diusianya
kini ia sangat mahir merakit persenjataan. Kedalaman ilmu keislamannya juga
tinggi, karena berguru langsung kepada para ulama sedari usia 7 tahun. Terlahir
dari keluarga ulama memudahkannya untuk berguru dengan ulama mana saja. Ia
mempunyai impian mulia mengembalikan kekhalifahan Islam, meneruskan perjuangan
seperti buyutnya Sultan Mehmed Al-Fatih 1453. Penyerangan ini awalnya diatur
untuk membebaskan Suriah, namun ia duluan menjemput syahidnya.
“Bahkan, kematian pun lebih kurindui
saat ini. Fatih, biarlah kita tak
bersatu di dunia. Namun Tuhan akan satukan kita diakhirat nanti. Aku hanya
ingin menjadi ratu bidadari untukmu seorang. Semoga Tuhan kita tidak marah,
karena aku tak ingin menerima pinangan dari laki-laki lain manapun. Insha
Allah, aku akan memfokuskan diri untuk meneruskan perjuanganmu, sayang. Tunggu
aku menjemput syahid dan Tuhan pun akan menyatukan kita setelahnya, selamanya,”
tumpahan isi hati Shahida ini ia tuliskan di dalam diarynya sebagai pengingat.
Ia ingin melanjutkan perjuangan sang kekasih hati dengan caranya. Melalui
perang Media.
“Media Islam adalah sebuah
keniscayaan! Jika tidak, kita akan terus dijajah oleh pihak Zionis dan
kroni-kroninya,” Shahida, wartawati sekaligus mahasiswi yang mendapat beasisiwa
kuliyah di Turki ini menyampaikan Orasi Ilmiah dari penelitian tugas akhir
kuliyahnya.Ia ingin mengajak seluruh elemen jurnalis muslim bersatu. Melalui
seminar ilmiah dan tulisan-tulisannya di media massa yang pedas terhadap barat.
(Minggu,22/12/2013)
(FLP, “Liqo” Nulisku.#after I follow
seminar Untold Story 2 langsung nulis.)