Tepat
tanggal 24 Agustus lalu, hari Jum’at sekitar jam dua siang, panitia PIONIR
(Pekan Ilmiah Olahraga Seni dan riset) IAIN Sultan Muhammad Hasanuddin Banten
menyatakan Elfira Syuhada sebagai peraih medali perak dalam kompetisi lomba
Musabaqoh Kandungan Isi Al-Quran (MKIQ) PTAIN se-Indonesia. Alhamdulillah,
Subhanallah sekali bisa mendapatkan prestasi tingkat Nasional. Tentunya untuk
suatu hal besar juga diikuti dengan perjuangan yang berat. Melewati berbagai
“kompetisi” dengan ujian dan tantangan yang luar biasa pula. Aku menyebut kisah
ini dengan “perjalanan kompetisi” menuju kompetisi yang sesungguhnya di Banten.
Dan ujian yang paling berat diantara yang lain adalah KEISTIQOMAHAN.
Syahdan,
bermula dari pengumuman seleksi menjadi perwakilan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
untuk cabang lomba MKIQ. Terpilihlah aku sebagai peserta putri dan
sahabatku Makmur sebagai peserta putra
untuk berjuang mengharumkan nama almamater di Pulau Jawa tersebut. Rektor kami,
Pak Farid Wajidi menyebut para peraih medali sebagai “Pahlawan”.
Ujian
pertama sekali yang datang adalah soal HIJAB.
Aku menolak diukur oleh tukang jahit yang disewakan secara khusus menjahit
seragam para kontingen menuju Banten.
Sekitar 22 orang peserta dari berbagai perwakilan cabang lomba hari itu diukur
bajunya. Delapan wanita, dan sebelas laki-laki
akan diambil ukuran bajunya oleh seorang lelaki bernama Muhammad. Jelas,
aku tak mau diukur oleh seorang lelaki. Butuh proses yang panjang untuk
melakukan negosiasi kepada tukang jahit, sampai akhirnya ia pasrah pada
keinginanku untuk tidak mau diukur olehnya. Dan membiarkanku pulang ke rumah
dan mengambil baju sebagai sempel. Beberapa teman peserta lain melihatku dengan
tatapan keheranan. Mungkin buat mereka hal ini sangat sepele. Bahkan sahabatku
Makmur malah menyuruhku untuk mengukur saja, katanya mudharat, dan beberapa
dosen juga berkata demikian. Hari itu aku merasa sendiri, jika tak kuat bisa
pasrah saja.
Setelah
melaju dengan kecepatan tinggi dari Kantor Small Kindness Lamprit menuju Darussalam,
tanpa memperdulikan polisi tidur dan pandangan orang lain terhadap laju sepeda
motorku, akhirnya sampai ke kampus kembali. Aku
syok saat tukang jahit tersebut sudah tidak ada lagi di tempat. Maka
pertualangan berikutnya baru akan dimulai. Bagaimana caranya agar sempel baju
itu sampai ke tukang jahit. Singkat cerita yang harus kulakukan adalah berjumpa
dengan ketua tim kontingen IAIN Ar-Raniry atau penanggung jawabnya lah. Aku
pasrah saja saat harus “dirapal” dengan berbagai
“mantra”. Ku terima saja semua nasehat itu tanpa banyak bicara. Kisah
selanjutnya, dari perjuangan keistiqomahan ini aku bisa request “gaun” impian
alias baju gamis yang aku bayangkan akan presentasi dengannya anggun nan
percaya diri kepada tukang jahit. (dan
alhamdulillah jadi kenyataaan).
Kejadian
ini menghebohkan Fakultas Dakwah. Pihak kampus merasa aku mempermalukannya.
Sementara itu, aku sudah pergi ke “perantauan”, di lapangan tempat kuliyah
pengabdian masyarakat (KPM), sebuah desa nan jauh dari ibu kota kabupatennya,
Meulaboh. Di kampus, kabar ini menjadi omongan. Dan “kasus”ku ini sempat
disidangkan. “Seharusnya kamu sudah
dipalang dari daftar keberangkatan ke Banten,” begitu kata Dekan fakultas
Dakwah saat aku kebetulan sedang mencoba berkonsultasi dengannya perihal tugas
lapanganku melalui telepon seluler. Namun, tiba-tiba saja ia yang awalnya
mengaku sedang sakit berubah mempunyai energi yang besar untuk membahas “kasus”
ini kepadaku. Perbincangan pun berlangsung lama. Yang aku lakukan tak banyak,
hanya diam saja, percuma kalaupun aku menjelaskan lelaki yang berjuluk Guru
Besar dan sudah pengalaman berkeliling dunia ini juga tidak akan mau menerima.
Tak
hanya dekan, siapa saja yang berjumpa denganku, pada saat itu akan bertanya
perihal “aneh” ini. Aku rasa memang aneh dan remeh, aku hanya tak ingin diambil
ukuran baju oleh laki-laki, dan si tukang jahit pun nampak tak masalah. Bahkan
setelah itu, aku menjadi satu-satunya peserta yang paling akrab dengan si Bapak
tukang jahit, ia sering menghubungiku, menanyakan ukuran yang pas, maklum,
diukur dengan baju sempel banyak kekurangannya. Aku pun diijinkannya mendesain
sendiri seragam tersebut. Alhamdulillah, kemenangan pertama bukti dari
kesungguhan menjaga istiqomah.
Setelah
pembahasan masalah ukur-mengukur, Pak Dekan tetap tak bisa menyembunyikan
perasaannya yang sesungguhnya. Di balik itu semua ia mengaku bangga padaku,
karena mahasiswa Fakultas Dakwahnya menjadi perwakilan kampus IAIN Ar-Raniry. “ Elfira
(salah satu) kebanggaan saya,” ucapnya disebrang melalui telepon seluler.
Meski tak melihat wajahnya, namun kata-kata itu masuk lewat telinga dan
mengaliri seluruh tubuhku. Setelahnya aku bertekad untuk benar-benar
membuktikan bahwa dengan keberadaanku bisa membanggakan Dakwah. (Dan alhamdulillah
aku yang awalnya disangka telah memalukan justru diakui telah mengharumkan nama
Dakwah). Aku awali langkah ini dengan menyusun program gebrakan di tempat
Kuliyah Pengabdian Masyarakat (KPM) ku. Yang orang di kampung lain tidak bisa melalukannya.
Sebuah perencaan event besar. Sekali lagi, setelah proses perjuangan dan
pengorbanan besar kegiatan itu bisa kami wujudkan dengan izin Allah. Dan
mendapat pujian dari kawan-kawan sesama peserta kampung lain. Masyarakat di
kampung kami merasa kepercayaan dirinya mulai tumbuh setelahnya. Bahkan mereka
sulit melepaskan kami setelah masa kerja lapangan ini usai.
Ujian
berikutnya datang. Pak dekan memaksa, agar setelah selesai kuliyah lapangan,
ketika sudah pulang aku langsung menjumpainya. Dan bukan itu masalahnya. Yang
menjadi masalah adalah ia “memaksa” untuk bersalaman dengannya. Meski umurnya seperti
orang tuaku, rambut putih, sudah kuanggap seperti orang tua, namun ia belumlah
termasuk katagori kakek-kakek yang sudah boleh di salami. Dan saat ke pulangan
tiba, aku dan beberapa orang teman serta seorang dosen muda yang mendampingi,
bersilahturrahmi ke rumahnya. Saat itu masih momen lebaran. Selain itu aku juga
ingin meminta izin untuk keberangkatan
ke Banten. “Jangan masuk rumah
saya kalau belum bersalaman dengan saya,” kata Pak Dekan setelah membuka
pintu rumah, sementara kawan-kawan yang lain langsung masuk ke dalam sambil
menertawakanku. Wajahnya terlihat serius, tapi aku lebih serius lagi, “Ya udah... Fira pulang aja lagi,” kataku
sambil mundur teratur menjauh dari pintu. Saat cukup jauh mendekati pintu pagar
rumah, sang dosen muda memanggilku untuk masuk. Setelah beberapa perbincangan,
aku pun memutuskan masuk. Pak Dekan pun ikut tertawa. Kesimpulanku adalah ia
memang sedang menguji keistiqomahanku. Bahkan aku sempat mengatakan kepada
dosen muda sang asisten dekan tersebut, jika perjuangan keistiqomahan ini harus
aku bayar dengan digagalkannya cita-citaku enam tahun lalu, untuk mengikuti
lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat Nasional ini, maka akan ku korbankan.
Setelah
perbincangan dengannya yang mengaku setuju dengan konsep “Islam Liberal”, ia
memberikan nasehat kepadaku agar mewanti-wanti jika dewan juri nanti seperti
pemikirannya bukan seperti pemikiranku (sunnah murni). Kupikir nasehat berharga.
Menghadapi orang-orang yang pemikiran seperti ini memang butuh metode. Harus pandai memilah-milih ucapan,
pemikiran, karena ia juga merupakan gudangnya ilmu. Jadi ambil saja keilmuannya
yang bermamfaat. Ibarat lautan yang luas, tak semuanya bisa menjadi hal berguna,
perlu memilih hal-hal yang sesuai kegunaan. Di balik beberapa pemikirannya yang
telah ia akui sendiri “liberal”, seorang Dekan Fakultas Dakwah sekarang ini
adal sosok pribadi yang luar biasa. Aku mengaguminya, kecuali dalam beberapa
hal perbedaan prinsip diantara kami. Aku memohon agar Allah senantiasa
memberikan taufiq dan menunjukkan kekeliruan dari caranya berfikir.
Masalah
dengan dekan beres, namun selanjutnya terfikir olehku saat wisuda nanti. Yang
otomatis akan bersalaman dengan rektor juga. Wah, semua tekanan ini, menjadi
bahan bakar dan energi untuk perjuanganku, untuk membuktikan bahwa keberadaanku
bisa membanggakan Dakwah, membuktikan bahwa aku layak ke Banten. Dan untuk
sebuah perjuangan lain nantinya, pada saat wisuda untuk tidak bersalaman dengan
rektor. Kata “pahlawan” yang diucapkan rektor itu, memotivasiku, jika
seandainya bisa kudapatkan satu medali, terserah juara berapa, maka aku akan
membuat sebuah permintaan kepada rektor. Sebagai bagian yang disebut
“Pahlawan”, sekarang aku sedang menunggu moment yang tepat untuk menyatakan
permohonan itu.
Masih
sangat banyak ujian keistiqomahanku menuju “Juara dua MKIQ Nasional” ini.
Sebagian ini dulu yang aku ceritakan. Semoga bisa menjadi hikmah bagi yang
membaca. Bahwa ketika kita mau memperjuangkan kemurnian ajaran yang sunnah ini,
maka pada saat berhasil akan ada hadiah
terindah yang sedang Allah persiapkan. Semaikin besar perjuangan, semakin besar
pula kesuksesan itu akan diraih. Allah hanya menguji, jadi tak perlu takut
dengan cobaan-cobaan yang diberikanNya. Karena ketika istiqomah itu bisa
dipertahankan, maka Allah pula lah yanga membantu dalam menghadapi ujian
tersebut. Jangan sampai terkecoh dengan kenikmatan dunia. Alhamdulillah aku
telah membuktikan indahnya ajaran sunnah yang mulia, sesuai dengan yang
dicontohkan Rasul saw dan para Salaf.
Dan...
Kemenangan yang sesungguhnya lah
yang didapatkan.
Dalam
Al-Quran dijelaskan bahwa kemenangan yang sesungguhnya itu adalah kemenangan yang disertai dengan keridhoan Allah swt.
Saat keistiqomahanku diujiNya, ku coba jalani
dan bertahan, meski beberapa kali sempat tertatih bahkan sampai “berdarah” dan
air mata. Kemenangan ini sungguh indah tercicipi, setelah melalui perjuangan
yang panjang. Dan resepku selama ini agar mampu bertahan adalah husnuzon alias
positif thinking, baik kepada Allah maupun kepada orang lain meski yang berbuat
tidak baik sekalipun, dan yang paling penting adalah kepada diri sendiri. Aku
selalu memotivasi diri, membangun komunikasi intra personal di dalam dada setiap
kali ujian datang. Setelah semua itu adalah, aku selalu menghadirkan Allah
dalam setiap langkahku, bahkan untuk hal yang kecil dan remeh sekalipun.
KepadaNya lah aku selalu mengadu dan menumpahkan jeritan hati atas segala
cobaan dan perlakuan orang lain yang tidak menyenangkan. Tak lupa pula rasa
syukur teramat dalam atas keberkatan yang diberiNya, berupa dikelilingi oleh
orang-orang luar biasa dalam bidangnya.
Dan selanjutnya, mereka semualah yang menjadi guruku.