Senin, 23 Desember 2013

SENI SEVIYORUM SHAHIDA



“Karena ia  sangat dalam mencintaimu, nak,” kata nenek tua berbaju merah motif pernik-pernik kecil.
“A-pa?... “ Shahida tersentak berat, badannya gemetar hebat. Nada suaranya mendadak tinggi di depan wanita tua itu. “Kenapa ia tak pernah mengatakannya padaku?” lanjutnya.
“Mungkin ia berfikir, kalian tak akan bisa bersatu. Atau tak ingin membuatmu terluka setelah kepergiannya.”
“Dasar bodoh!” Shahida kesal dan meninju tembok dengan genggaman tangan kanannya sampai lebam, ia  tak bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Apa ia tidak berfikir, aku jauh lebih sakit dengan cara seperti ini. Menghadapi kenyataan, bahwa aku tak bisa bersatu dengan laki-laki yang sangat aku cintai.
Tubuh gadis 22 tahun itu semakin berguncang keras. Banjir air mata tak terbendung lagi dari pelupuk matanya. Ia tak bisa menahan menumpahkan kekesalannya di hadapan wanita tua yang tak lain adalah nenek dari orang yang ia  cintai, Al-Fatih. Lelaki yang terbunuh beberapa hari yang lalu oleh agresi polisi PBB karena diduga teroris.
Wartawati asal Indonesia ini telah lama menyimpan rasa kepada lelaki Turki yang mempunyai sifat beku melebihi kutub Utara itu. Ia sangat terpukul, karena lelaki yang selalu terlihat dingin itu diam-diam juga menyimpan rasa padanya. Yang paling menyesakkan dadanya, Fatih terbunuh karena ingin berkorban menyelamatkan dirinya yang disandera oleh pihak yang diduga teroris. Padahal semua hanya jebakan. Komplotan itu merupakan bagian dari polisi PBB.
Al-Fatih, lelaki muda berusia 24 tahun ini memimpin sebuah proyek penyerangan kembali terhadap pihak lawan. Ia yang jenius dalam bidang Fisika dan Kimia di bangku sekolah, mulai berguru langsung dengan para ilmuan diusia 14 tahun. Tak heran jika diusianya kini ia sangat mahir merakit persenjataan. Kedalaman ilmu keislamannya juga tinggi, karena berguru langsung kepada para ulama sedari usia 7 tahun. Terlahir dari keluarga ulama memudahkannya untuk berguru dengan ulama mana saja. Ia mempunyai impian mulia mengembalikan kekhalifahan Islam, meneruskan perjuangan seperti buyutnya Sultan Mehmed Al-Fatih 1453. Penyerangan ini awalnya diatur untuk membebaskan Suriah, namun ia duluan menjemput syahidnya.
“Bahkan, kematian pun lebih kurindui saat ini. Fatih, biarlah  kita tak bersatu di dunia. Namun Tuhan akan satukan kita diakhirat nanti. Aku hanya ingin menjadi ratu bidadari untukmu seorang. Semoga Tuhan kita tidak marah, karena aku tak ingin menerima pinangan dari laki-laki lain manapun. Insha Allah, aku akan memfokuskan diri untuk meneruskan perjuanganmu, sayang. Tunggu aku menjemput syahid dan Tuhan pun akan menyatukan kita setelahnya, selamanya,” tumpahan isi hati Shahida ini ia tuliskan di dalam diarynya sebagai pengingat. Ia ingin melanjutkan perjuangan sang kekasih hati dengan caranya. Melalui perang Media.
“Media Islam adalah sebuah keniscayaan! Jika tidak, kita akan terus dijajah oleh pihak Zionis dan kroni-kroninya,” Shahida, wartawati sekaligus mahasiswi yang mendapat beasisiwa kuliyah di Turki ini menyampaikan Orasi Ilmiah dari penelitian tugas akhir kuliyahnya.Ia ingin mengajak seluruh elemen jurnalis muslim bersatu. Melalui seminar ilmiah dan tulisan-tulisannya di media massa yang pedas terhadap barat. (Minggu,22/12/2013)

(FLP, “Liqo” Nulisku.#after I follow seminar Untold Story 2 langsung nulis.)

Senin, 18 November 2013

Kemenangan Kita BersAMa




Dan kemenangan ini bukan karena Syu seorang, tetapi karena semua orang-orang disamping Syu yang selalu mendukung dan mensupport. Anugerah yang tak terhingga, adalah bersama-sama keluarga JLK. Kalian semua berarti buat Syu. Teruntuk untuk sahabat-sahabatku sebagai tempat Syu belajar.







 Maria Effi Yana
Sang penyiar hebat, calon pembicara hebat. Bersamanya Syu belajar tentang ilmu Public Speaking. Alias BICARA di depan Umum. Walaupun dengan cara mengajar khasnya, dengan bumbu pedas, marah-marah atas kepolosanku yang membuatnya tak sabaran. Jazakillah Ukhti jamilah. “Bukan akhwat biasa,” begitu katamu. Dan peraihan Medali kemarin, jujur didompleng oleh nilai presentasi yang “memukau” kata dewan juri. Terimakasih telah memarahiku untuk tidak mengutuk diri sendiri dengan tidak mengatakan lagi,” Syu tidak bisa ngomong”
Makmur Dimila
Seorang anak muda hebat. Penulis hebat diatas rata-rata seusianya. Sejauh ini, selalu bisa diajak diskusi seputar MENULIS. Menjadi pendengar dan pemberi saran yang hebat. Hehe, proses menulis jauh lebih memudahkan. Kali ini tanpa tekanan. Memang, menulis itu janagn pake tekanan. Beda dengan belajar Public Speaking. Proses merebut medali Perak MKIQ pun tak lepas dari peranannya. Dengan sedikit memaksa dan menodong, aku selalu bertanya ini dan itu. Selain mengajar tekhnik menulis, sang “guru” ini juga memberikan motivasi menulis. Semoga  tetap saling memotivasi dalam kebaikan ya Akhi.
M.Iqbal Fanika
Ibal, begitu aku biasa memanggilmu. Sifat sabarmu membawaku memilihmu untuk menjadi partner mengirim proposal di ajang Harmoni Eagle Award. Aku yakin, kamu adalah sahabat yang paling tepat untukku belajar dunia FILM dan PHOTOGRAfi. Selain mengerti “keistimewaanku” sebagai seorang Muslimah yang berjuang untuk Istiqomah & tetap berjuang menjaga rambu syariat di dunia yang banyak ujian ini.  Namun tetap ingin menorehkan prestasi dalam bidang ini.
Calon sineas muda Aceh yang bakat permatanyanya sedang diasah menjadi tajam hingga suatu saat berkilau. Jangan bosan ya Akhi, tahun depan kita ikut lagi. Kalau pun masih ngak lewat lagi, kita buat aja film sendiri. Syu yang jadi tokoh utamanya ya? hahaha.
Hidayatullah ra.
Bisa ku katakan, kamu adalah sahabat yang paling bisa diandelin urusan IT. Masalahku dengan tekhnologi Insha Allah bisa diatasi dengan Allah menggerakkan hatimu untuk selalu membantuku. Yang paling amazing adalah, dalam hal desain misalkan, kamu bisa buat karya sesuai dengan impianku. Majalah SARAH adalah karya luar biasa, bersama Asrina yg tidak kalah luar biasa, Afrizal, dan Risma.
Lagi sosok yang tak kalah sabar ini bisa membuat saya belajar tentang dunia aplikasi KOMPUTER.
Dari keempat sosok  tadi, 3 orang Akhi adalah tipe penyabar, dan 1 orang ukhti yang ngak sabaran. Justru itulah hebatnya, bersama mereka aku benar-benar belajar berbagai hal sesuai dengan expertnya mereka masing-masing.
Dan buat warga JLK lain yang tidak disebutkan, kalian juga tidak kalah penting menginspirahi hari-hari Syu. Asrina, “memotivasi” dengan caranya sendiri. Indah, sifat keibuannya membuat keluarga JLK bertambah bahagia sejahtera. Jufri, juga orang yang siap sedia membantu, juga paling lucu. Risma en the Genk, Siti, Nofa, Zahra dan Zahrina, kehadiran kalian sangat memberi warna di keluarga kita. Nawir Nasution, Nawar & Nurul si Nyak Lebay, ngak ada lo ngak seru. Isun dan Zirky, meski berbeda pandangan “politik”, namun dalam ukhwah kita tetap kompak, salut buat kita. Yeni, Hafiz, Khaled, ngak ada kalian ngak lengkap. Dan sang Almarhum Dani, bisa dibilang sang “Ayah rumah tangga” di keluarga kita. Nihra, anti selalu dihati kami, meski raga kita terpisah.
Suatu Kebahagian, karena semua ini karena Allah semata. Karena kehendaknya, kita dipertemukan, dipersatukan membangun  Ukhwah. Sauda wa saudariku, Akhi wa Ukhti, semoga jalinan ini tetap erat tak hanya sekarang,  bahkan sampai kita berkeluarga dan punya anak masing-masing, saling berkumpul lagi. Lebih dari itu, kita tetap keluarga hingga di akhirat kelak.
“Demi massa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran  dan saling menasehati untuk kesabaran.” (Q.S Al-Asr:1-3).

Selasa, 08 Oktober 2013

Medali Perak untuk “Kompetisi” Keistiqomahan




Tepat tanggal 24 Agustus lalu, hari Jum’at sekitar jam dua siang, panitia PIONIR (Pekan Ilmiah Olahraga Seni dan riset) IAIN Sultan Muhammad Hasanuddin Banten menyatakan Elfira Syuhada sebagai peraih medali perak dalam kompetisi lomba Musabaqoh Kandungan Isi Al-Quran (MKIQ) PTAIN se-Indonesia. Alhamdulillah, Subhanallah sekali bisa mendapatkan prestasi tingkat Nasional. Tentunya untuk suatu hal besar juga diikuti dengan perjuangan yang berat. Melewati berbagai “kompetisi” dengan ujian dan tantangan yang luar biasa pula. Aku menyebut kisah ini dengan “perjalanan kompetisi” menuju kompetisi yang sesungguhnya di Banten. Dan ujian yang paling berat diantara yang lain adalah KEISTIQOMAHAN.
Syahdan, bermula dari pengumuman seleksi menjadi perwakilan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh untuk cabang lomba MKIQ. Terpilihlah aku sebagai peserta putri dan sahabatku  Makmur sebagai peserta putra untuk berjuang mengharumkan nama almamater di Pulau Jawa tersebut. Rektor kami, Pak Farid Wajidi menyebut para peraih medali sebagai “Pahlawan”.
Ujian pertama sekali yang datang adalah soal HIJAB. Aku menolak diukur oleh tukang jahit yang disewakan secara khusus menjahit seragam para kontingen  menuju Banten. Sekitar 22 orang peserta dari berbagai perwakilan cabang lomba hari itu diukur bajunya. Delapan wanita, dan sebelas laki-laki  akan diambil ukuran bajunya oleh seorang lelaki bernama Muhammad. Jelas, aku tak mau diukur oleh seorang lelaki. Butuh proses yang panjang untuk melakukan negosiasi kepada tukang jahit, sampai akhirnya ia pasrah pada keinginanku untuk tidak mau diukur olehnya. Dan membiarkanku pulang ke rumah dan mengambil baju sebagai sempel. Beberapa teman peserta lain melihatku dengan tatapan keheranan. Mungkin buat mereka hal ini sangat sepele. Bahkan sahabatku Makmur malah menyuruhku untuk mengukur saja, katanya mudharat, dan beberapa dosen juga berkata demikian. Hari itu aku merasa sendiri, jika tak kuat bisa pasrah saja.
Setelah melaju dengan kecepatan tinggi dari Kantor Small Kindness Lamprit menuju Darussalam, tanpa memperdulikan polisi tidur dan pandangan orang lain terhadap laju sepeda motorku, akhirnya sampai ke kampus kembali. Aku  syok saat tukang jahit tersebut sudah tidak ada lagi di tempat. Maka pertualangan berikutnya baru akan dimulai. Bagaimana caranya agar sempel baju itu sampai ke tukang jahit. Singkat cerita yang harus kulakukan adalah berjumpa dengan ketua tim kontingen IAIN Ar-Raniry atau penanggung jawabnya lah. Aku pasrah saja saat harus  “dirapal” dengan berbagai “mantra”. Ku terima saja semua nasehat itu tanpa banyak bicara. Kisah selanjutnya, dari perjuangan keistiqomahan ini aku bisa request “gaun” impian alias baju gamis yang aku bayangkan akan presentasi dengannya anggun nan percaya diri kepada  tukang jahit. (dan alhamdulillah jadi kenyataaan).
Kejadian ini menghebohkan Fakultas Dakwah. Pihak kampus merasa aku mempermalukannya. Sementara itu, aku sudah pergi ke “perantauan”, di lapangan tempat kuliyah pengabdian masyarakat (KPM), sebuah desa nan jauh dari ibu kota kabupatennya, Meulaboh. Di kampus, kabar ini menjadi omongan. Dan “kasus”ku ini sempat disidangkan. “Seharusnya kamu sudah dipalang dari daftar keberangkatan ke Banten,” begitu kata Dekan fakultas Dakwah saat aku kebetulan sedang mencoba berkonsultasi dengannya perihal tugas lapanganku melalui telepon seluler. Namun, tiba-tiba saja ia yang awalnya mengaku sedang sakit berubah mempunyai energi yang besar untuk membahas “kasus” ini kepadaku. Perbincangan pun berlangsung lama. Yang aku lakukan tak banyak, hanya diam saja, percuma kalaupun aku menjelaskan lelaki yang berjuluk Guru Besar dan sudah pengalaman berkeliling dunia ini juga tidak akan mau menerima.
Tak hanya dekan, siapa saja yang berjumpa denganku, pada saat itu akan bertanya perihal “aneh” ini. Aku rasa memang aneh dan remeh, aku hanya tak ingin diambil ukuran baju oleh laki-laki, dan si tukang jahit pun nampak tak masalah. Bahkan setelah itu, aku menjadi satu-satunya peserta yang paling akrab dengan si Bapak tukang jahit, ia sering menghubungiku, menanyakan ukuran yang pas, maklum, diukur dengan baju sempel banyak kekurangannya. Aku pun diijinkannya mendesain sendiri seragam tersebut. Alhamdulillah, kemenangan pertama bukti dari kesungguhan menjaga istiqomah.
Setelah pembahasan masalah ukur-mengukur, Pak Dekan tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Di balik itu semua ia mengaku bangga padaku, karena mahasiswa Fakultas Dakwahnya menjadi perwakilan kampus IAIN Ar-Raniry.  Elfira (salah satu) kebanggaan saya,” ucapnya disebrang melalui telepon seluler. Meski tak melihat wajahnya, namun kata-kata itu masuk lewat telinga dan mengaliri seluruh tubuhku. Setelahnya aku bertekad untuk benar-benar membuktikan bahwa dengan keberadaanku bisa membanggakan Dakwah. (Dan alhamdulillah aku yang awalnya disangka telah memalukan justru diakui telah mengharumkan nama Dakwah). Aku awali langkah ini dengan menyusun program gebrakan di tempat Kuliyah Pengabdian Masyarakat (KPM) ku. Yang orang di kampung lain tidak bisa melalukannya. Sebuah perencaan event besar. Sekali lagi, setelah proses perjuangan dan pengorbanan besar kegiatan itu bisa kami wujudkan dengan izin Allah. Dan mendapat pujian dari kawan-kawan sesama peserta kampung lain. Masyarakat di kampung kami merasa kepercayaan dirinya mulai tumbuh setelahnya. Bahkan mereka sulit melepaskan kami setelah masa kerja lapangan ini usai.
Ujian berikutnya datang. Pak dekan memaksa, agar setelah selesai kuliyah lapangan, ketika sudah pulang aku langsung menjumpainya. Dan bukan itu masalahnya. Yang menjadi masalah adalah ia “memaksa” untuk bersalaman dengannya. Meski umurnya seperti orang tuaku, rambut putih, sudah kuanggap seperti orang tua, namun ia belumlah termasuk katagori kakek-kakek yang sudah boleh di salami. Dan saat ke pulangan tiba, aku dan beberapa orang teman serta seorang dosen muda yang mendampingi, bersilahturrahmi ke rumahnya. Saat itu masih momen lebaran. Selain itu aku juga ingin meminta izin untuk keberangkatan  ke Banten. “Jangan masuk rumah saya kalau belum bersalaman dengan saya,” kata Pak Dekan setelah membuka pintu rumah, sementara kawan-kawan yang lain langsung masuk ke dalam sambil menertawakanku. Wajahnya terlihat serius, tapi aku lebih serius lagi, “Ya udah... Fira pulang aja lagi,” kataku sambil mundur teratur menjauh dari pintu. Saat cukup jauh mendekati pintu pagar rumah, sang dosen muda memanggilku untuk masuk. Setelah beberapa perbincangan, aku pun memutuskan masuk. Pak Dekan pun ikut tertawa. Kesimpulanku adalah ia memang sedang menguji keistiqomahanku. Bahkan aku sempat mengatakan kepada dosen muda sang asisten dekan tersebut, jika perjuangan keistiqomahan ini harus aku bayar dengan digagalkannya cita-citaku enam tahun lalu, untuk mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat Nasional ini, maka akan ku korbankan.
Setelah perbincangan dengannya yang mengaku setuju dengan konsep “Islam Liberal”, ia memberikan nasehat kepadaku agar mewanti-wanti jika dewan juri nanti seperti pemikirannya bukan seperti pemikiranku (sunnah murni). Kupikir nasehat berharga. Menghadapi orang-orang yang pemikiran seperti ini memang butuh  metode. Harus pandai memilah-milih ucapan, pemikiran, karena ia juga merupakan gudangnya ilmu. Jadi ambil saja keilmuannya yang bermamfaat. Ibarat lautan yang luas, tak semuanya bisa menjadi hal berguna, perlu memilih hal-hal yang sesuai kegunaan. Di balik beberapa pemikirannya yang telah ia akui sendiri “liberal”, seorang Dekan Fakultas Dakwah sekarang ini adal sosok pribadi yang luar biasa. Aku mengaguminya, kecuali dalam beberapa hal perbedaan prinsip diantara kami. Aku memohon agar Allah senantiasa memberikan taufiq dan menunjukkan kekeliruan dari caranya berfikir.
Masalah dengan dekan beres, namun selanjutnya terfikir olehku saat wisuda nanti. Yang otomatis akan bersalaman dengan rektor juga. Wah, semua tekanan ini, menjadi bahan bakar dan energi untuk perjuanganku, untuk membuktikan bahwa keberadaanku bisa membanggakan Dakwah, membuktikan bahwa aku layak ke Banten. Dan untuk sebuah perjuangan lain nantinya, pada saat wisuda untuk tidak bersalaman dengan rektor. Kata “pahlawan” yang diucapkan rektor itu, memotivasiku, jika seandainya bisa kudapatkan satu medali, terserah juara berapa, maka aku akan membuat sebuah permintaan kepada rektor. Sebagai bagian yang disebut “Pahlawan”, sekarang aku sedang menunggu moment yang tepat untuk menyatakan permohonan itu.
Masih sangat banyak ujian keistiqomahanku menuju “Juara dua MKIQ Nasional” ini. Sebagian ini dulu yang aku ceritakan. Semoga bisa menjadi hikmah bagi yang membaca. Bahwa ketika kita mau memperjuangkan kemurnian ajaran yang sunnah ini, maka  pada saat berhasil akan ada hadiah terindah yang sedang Allah persiapkan. Semaikin besar perjuangan, semakin besar pula kesuksesan itu akan diraih. Allah hanya menguji, jadi tak perlu takut dengan cobaan-cobaan yang diberikanNya. Karena ketika istiqomah itu bisa dipertahankan, maka Allah pula lah yanga membantu dalam menghadapi ujian tersebut. Jangan sampai terkecoh dengan kenikmatan dunia. Alhamdulillah aku telah membuktikan indahnya ajaran sunnah yang mulia, sesuai dengan yang dicontohkan Rasul saw dan para Salaf.
Dan...
Kemenangan yang sesungguhnya lah yang didapatkan.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa kemenangan yang sesungguhnya itu adalah kemenangan yang disertai dengan keridhoan Allah swt.
 Saat keistiqomahanku diujiNya, ku coba jalani dan bertahan, meski beberapa kali sempat tertatih bahkan sampai “berdarah” dan air mata. Kemenangan ini sungguh indah tercicipi, setelah melalui perjuangan yang panjang. Dan resepku selama ini agar mampu bertahan adalah husnuzon alias positif thinking, baik kepada Allah maupun kepada orang lain meski yang berbuat tidak baik sekalipun, dan yang paling penting adalah kepada diri sendiri. Aku selalu memotivasi diri, membangun komunikasi intra personal di dalam dada setiap kali ujian datang. Setelah semua itu adalah, aku selalu menghadirkan Allah dalam setiap langkahku, bahkan untuk hal yang kecil dan remeh sekalipun. KepadaNya lah aku selalu mengadu dan menumpahkan jeritan hati atas segala cobaan dan perlakuan orang lain yang tidak menyenangkan. Tak lupa pula rasa syukur teramat dalam atas keberkatan yang diberiNya, berupa dikelilingi oleh orang-orang luar  biasa dalam bidangnya. Dan selanjutnya, mereka semualah yang menjadi guruku.

Sabtu, 14 September 2013

Muhasabah Suatu Hari


 Tepat di Hari Yudisium mahasiswa Fakultas Dakwah, Selasa, 10 September 2013. Hanya ada dua anggota keluarga JLK* yang mampu menempuhnya, yaitu Maria dan Asrina, keduanya mendapat nilai istimewa. Setelah acara selesai, kami berkumpul di kantin Jami’ah arah ke bundaran depan gedung Rektorat. Hanya ada Aku, Maria, Makmur, Iqbal dan Asrina.
dari kiri Makmur, Asrina, Aku, Maria dan Iqbal
  Tanpa kuduga, seorang Maria yang memang mempunyai jiwa seorang leadership memulai sebuah pembicaraan yang kami sebut kata sambutan kecil-kecilan dengan salam. Ada satu hal yang sangat perlu menjadi kesimpulan, walaupun kata ini sudah ku pahami maknanya, tapi  jauh lebih bermakna ketika seorang Maria Effy Yana, S.sos,I yang mengatakannya.
Kita adalah apa yang kita Fokuskan. Fokus skripsi, dapat skripsi. Fokus MKIQ (prestasi) maka dapat prestasi. Fokus cari uang, maka dapat uang. Dan Fokus dengan Cinta (seorang cewek), maka ....” Ia berhenti di kalimat itu, tak usah diteruskan kami sudah tahu jawabannya.
Kesemua kefokusan yang ia sebutkan itu ditujukan masing-masing untuk kami berlima. Mungkin tak perlu kuperjelas fokus apa untuk siapa. Yang jelas, memang kita sesuai apa yang kita fokuskan selama ini. Dan tidak disangka-sangka, tiba-tiba Asrina nyelutuk dengan suara yang hampir tak terdengar, “Aku fokus dua-duanya, skripsi dapat, cinta beres.”
Terserah apa kata Asrina, walaupun ia merasa berhasil dua-duanya. Aku hanya mendukung urusan perkuliyahannya saja, tidak dengan urusan percintaan yang belum waktunya itu (maaf harus tegas). Aku tak yakin jika ia benar-benar mendapat kebahagiannya yang sebenarnya, mungkin ini semua hanya kebahagiaan semu saja. Karena dari satu kesimpulan lain hasil perbincangan kami, masalah “cinta” adalah masalah yang paling rata-rata menyebabkan depresi tingkat tinggi dan berefek terhadap perkuliyahan, ngak hanya cowok, cewek pun juga terjangkit.
Muhasabah kali ini sungguh bermakna, betul-betul merenungi perjalanan kami selama ini. Kenapa hari ini bisa begini, kenapa hanya ada Maria dan Asrina saja yang dapat Yudisium alias wisuda tepat waktu. Dan kenapa anggota JLK mulai sedikit berpencar di semester akhir, salah satunya juga karna cinta lokasi (maaf harus tegas lagi). Ini yang dari dulu aku mewanti-wantinya, tapi terjadi juga. Namun kami semua berharap, keluarga JLK bisa langgeng hingga kami mempunyai pasangan dan anak masing-masing. Akan ada silahturrahmi reunian nantinya. Kami sedang membanyangkan 5,10 atau 15 tahun kedepan. Aku akan mengenalkan anak-anakku kepada sahabat sekaligus keluarga JLK ku. Harapanku, semoga ukhwah diantara kita tak hanya berlangsung di dunia saja, tapi lebih dari itu ia harus langgeng hingga akhirat kelak.
Kini kami kembali memulai mengeratkan ikatan yang sempat longgar ini. Kita harus saling mengingatkan dalam berbuat kebaikan, bukan hanya senang-senang saja bersama-sama. Dan satu lagi pesan dari kata sambutan Makmur Dimila, seorang anak muda Aceh dengan kemampuan menulis diatas rata-rata remaja diusianya, “Dengan bersama-sama, kita jauh lebih bisa menghasilkan sesuatu yang besar...” Tak ku teruskan, karena ia menyebutkan mimpi besar itu. Kalaupun bisa menjadi kenyataan, biarlah menjadi surprise dari kami warga JLK.
***
               Adapun pesan moral dari muhasabah hari itu, jauhi cinta terlarang yang belum waktunya. Biarlah ia indah pada saatnya. Karena kita sesuai dengan ke fokusan diri. Fokus padahal negatif, maka negatif yang akan didapat, fokus pada hal positif, maka positiflah yang akan kita dapatkan. Kita bisa melihat gambaran diri kita 5 tahun ke depan dengan melihat diri kita hari ini, dengan siapa kita bergaul, apa yang kita lakukan, apa yang kita baca, dan apa yang kita fokuskan. Sangat parah, jika kita belum menemukan satu kefokusan, dan fokus yang dimaksud adalah fokus positif. Sekarang tanyakan pada diri sendiri, bagaimana dengan diri ini?



*JLK= jurusan KPI, konsentrasi Jurnalistik