Selasa, 01 November 2011

Pak Abdullah




“Tangan saya diikat, saya dipukuli dan dilempar kedalam Ambulan supaya difikir orang sakit, bukan pengemis seperti saya,”kisah Abdullah Ismail, seorang Pengemis buta berumur 51 tahun di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman.


A
bdullah banyak bercerita tentang kisahnya dengan pihak Dinas Sosial. Ia mengaku banyak mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Sering dikejar-kejar Satpol PP, makanya ia memilih kembali ke Mesjid Raya setelah sebelumnya di lampu merah sering dikejar Satpol PP, namun di Mesjid pun terkadang masih di tengkap juga .Ia pernah dipukuli ketika menolak untuk ikut diamankan pihak Dinas Sosial. Dikurung semalaman tanpa diberi makan,”saya sangat kelaparan padahal,” kata dia.  Selama ini setelah ditangkap, ia tidak diberikan pembinaan seperti kebanyakan pandangan orang yang mengira setelah ditangkap kemudian di berikan pembinaan. Namun Abdullah hanya di tangkap, menginap di tempat pembinaan Ladong semalam, besok paginya ia dilepaskan.
Abdullah bukannya senang menjalani profesi ini.Ia berharap jika ada yang memberi bantuan, ia berniat untuk membuat sebuah kios kecil sehingga tak perlu melakukan profesi ini lagi. Ia  sudah sering meminta bantuan ke Dinas Sosial, tapi tidak ada tanggapan. Dari pihak Kabupaten juga sudah pernah ia usakan. Tapi juga tidak ada tanggapan.
 “Saya susah-susah ke Jantho berharap adalah bantuan untuk orang seperti saya ini, tapi jangankan diberi bantuan ongkos becak untuk pulang saja tidak di kasih. Padahal saya sewa becak kesana (ke Jantho) cukup mahal,” cerita Pak Abdullah setengah kesal.
            Pernah setelah ditangkap kemudian diberikan santunan Rp 50.000 namun berita yang dikabarkan oleh Dinas Sosial kepada media uang yang diberikan sebesar RP 5.000.000, angka yang terpaut terlalu jauh dari yang sebenarnya. Mendengar berita di koran yng diberitahukan oleh anaknya yang tukang becak, Abdullah sangat marah. Maka tak heran jika doa yang selalu terlafalkan dimulutnya supaya Tuhan menimpakan musibah yang lebih hebat lagi dari sekedar Tsunami. Ditambah lagi ia juga tidak diberikan bantuan rumah korban Tsunami. Memang pada saat itu ia berada di tempat sewaan yang tidak sampai Tsunami ke situ, tapi ia orang yang layak untuk diberikan bantuan. Buktinya orang PMI yang bernama Firdaus memberikan rumah tempat ia tinggal sekarang.
Pak Abdullah ini tinggal di Ujung Batee, Neuheun, Aceh Besar. Setiap harinya berangkat dari Neuheun mulai dari jam 8 atau jam 9 pagi dengan menggunakan labi-labi. dan baru akan pulang sekitar jam 6 sore. Kira-kira menghabiskan uang Rp 10.000 untuk biaya transportasi pulang pergi. Dengan penghasilan per harinya Rp 30.000- Rp 50.000, namun kalau ada event tertentu bisa mencapai Rp 100.000 itu pun terkadang sering diusir oleh pihak keamanan. Dengan penghasilan tersebut ia gunakan untuk keperluan sehari-hari serta untuk membiayai sekolah anak sulung(paling kecil)nya, yang baru duduk di banngku SMP. Ia mempunyai empat orang anak, tiga lainnya terbilang sudah mandiri. Namun masih belum bisa memberi untuk Ayahnya. Seperti anak paling tua bekerja sebagai tukang becak dengan penghasilan yang tidak menentu. Itupun becak sewaan, yang berarti harus membagi hasil dengan yang punya becak. Sedangkan anak yang lainnya bekerja serabutan. Walaupun yang menjadi tanggungannya hanya anak paling kecil, namun ia belum bisa menyisihkan uang untuk tabungan. Dengan uang senilai tersebut selain untuk kebutuhan sehari-hari juga digunakan untuk biaya pengobatan anaknya yang menderita Hernia. Mungkin uangnya memang tidak cukup, “untung ada JKA, jadi sudah lumayan meringankan,”katanya.
Untuk bekerja seperti ini, Abdullah tidak melibatkan anggota keluarganya. Dan di keluarganya hanya beliau sendiri yang meminta-minta. Karena keterbatasan fisik tersebut jika ia hendak berkelilng Pasar Aceh untuk meminta-minta maka di temani oleh kawannya sesama pengemis lain yang bisa melihat. Namun ia sudah jarang berkeliling ketoko-toko atau kewarung-warung dengan di temani penunjuk arah tersebut berarti penghasilannya harus dibagi dua dengan penunjuk arah. Jadi ia memilih Mesjid Raya sebagai lokasi utama.
 Ia mengaku tidak mempunyai saudara di Banda Aceh. Asalnya dari Lhoeksemawe. Karena keadaannya yang buta sejak umur lima tahun, karena meurampot (secara tiba-tiba, tanpa diketahui penyebabnya), tiba-tiba matanya mengeluarkan nanah dan tidak dapat disembuhkan akibat terlambat dibawa ke tempat pengobatan. Jadi ia belum pernah bekerja selain meminta-minta. Tidak ada pun orang yang menawari pekerjaan selain meminta-minta ini. Dan sebelum ke Banda Aceh, ia sudah banyak berkelana ke tempat lain, seperti Medan. Kalau ditanya kenapa memilih Banda Aceh, karena sedikit lebih mudah.
Dalam bekerja sebagai peminta-minta Abdullah murni atas keinginan sendiri tanpa ada yang mengkoordinir.
Tanggapan dari tetangga mereka sangat memahami kondisi Abdullah, tidak ada yang menghina ataupun melarangnya. Namun dari anaknya yang paling kecil pernah mengeluhkan hal ini. Kalau perasaan Abdullah sendiri ia juga merasa risih.
“Kalau malu pastilah ada. Tapi mau buat bagaimana lagi. Mengingat untuk anak, terpaksa harus saya jalani juga (termasuk bagian dikejar-kejar satpol PP). Kebutaan ini tidaklah saya kehendaki, tapi Tuhan yang memberi. Kalau saya boleh memilih pasti menginginkan bekerja dengan normal,” keluh Abdullah, dengan setengah menangis ia menyampaikan lebih panjang lagi, kebanyakan tentang perlakuan Dinas Sosial. Dan ia pun menghanturkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar memberikan bala yang lebih parah lagi, kalau bisa kali ini semua orang terkena musibahnya. Inilah doa Abdullah, doanya orang yang teraniaya. *

*Wawancara dalam bahasa Aceh, kemudian peneliti terjemahkan kedalam bahasa Indonesia



LIST OBSERVASI
Nama                            : ELFIRA SYUHADA
Usia                                : 20 Tahun
Tempat Observasi        : Mesjid Raya Baiturrahman



K
eadaan fisik Abdullah secara keseluruhan sehat, hanya saja matanya buta dan kelihatan lebih tua dari umur yang sebenarnya.
Keadaan matanya murni buta, ia mengangkat kelopak matanya sehingga nampak semua matanya putih, dan hampir tidak kelihatan bola matanya yang hitam.
Cara atau model mengemisnya dengan membaca suatu bacaan. Penelitian kurang tahu apa yang dibacanya karena suaranya pun kecil, mungkin salawat seperti yang lainnya.
Cara mendapatkan simpati dengan bacaan tadi dan berjalan seputaran Mesjid Raya dengan menggunakan tongkat kayu yang gelah ditempeli gabungan dua kaleng susu bekas.
Raut wajah  pada saat mengemis biasa saja, apa adanya.
Reaksi pengemis ketika tidak diberikan shadaqah biasa saja, ia tetap mau melayani dan menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan.
Respon masyarakat sekitar ada yang memberikan sedekah ada pula yang tidak memberikan dan tak acuh. Dan kebanyakan adalah  yang kedua tadi.




Hipotesia Peneliti: Pengemis yang terkoordinir dan berpura-pura menolak keras untuk di wawancara. Kemudian faktor banyak pengemis di Mesjid Raya karena di Lampu merah sering digaruk Satpol PP. Peneliti sudah berkeliling Banda Aceh, tempat yang banyak pengemis di seputaran Mesjid Raya dan wilayah Ulee Kareeng.