Selasa, 08 Oktober 2013

Medali Perak untuk “Kompetisi” Keistiqomahan




Tepat tanggal 24 Agustus lalu, hari Jum’at sekitar jam dua siang, panitia PIONIR (Pekan Ilmiah Olahraga Seni dan riset) IAIN Sultan Muhammad Hasanuddin Banten menyatakan Elfira Syuhada sebagai peraih medali perak dalam kompetisi lomba Musabaqoh Kandungan Isi Al-Quran (MKIQ) PTAIN se-Indonesia. Alhamdulillah, Subhanallah sekali bisa mendapatkan prestasi tingkat Nasional. Tentunya untuk suatu hal besar juga diikuti dengan perjuangan yang berat. Melewati berbagai “kompetisi” dengan ujian dan tantangan yang luar biasa pula. Aku menyebut kisah ini dengan “perjalanan kompetisi” menuju kompetisi yang sesungguhnya di Banten. Dan ujian yang paling berat diantara yang lain adalah KEISTIQOMAHAN.
Syahdan, bermula dari pengumuman seleksi menjadi perwakilan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh untuk cabang lomba MKIQ. Terpilihlah aku sebagai peserta putri dan sahabatku  Makmur sebagai peserta putra untuk berjuang mengharumkan nama almamater di Pulau Jawa tersebut. Rektor kami, Pak Farid Wajidi menyebut para peraih medali sebagai “Pahlawan”.
Ujian pertama sekali yang datang adalah soal HIJAB. Aku menolak diukur oleh tukang jahit yang disewakan secara khusus menjahit seragam para kontingen  menuju Banten. Sekitar 22 orang peserta dari berbagai perwakilan cabang lomba hari itu diukur bajunya. Delapan wanita, dan sebelas laki-laki  akan diambil ukuran bajunya oleh seorang lelaki bernama Muhammad. Jelas, aku tak mau diukur oleh seorang lelaki. Butuh proses yang panjang untuk melakukan negosiasi kepada tukang jahit, sampai akhirnya ia pasrah pada keinginanku untuk tidak mau diukur olehnya. Dan membiarkanku pulang ke rumah dan mengambil baju sebagai sempel. Beberapa teman peserta lain melihatku dengan tatapan keheranan. Mungkin buat mereka hal ini sangat sepele. Bahkan sahabatku Makmur malah menyuruhku untuk mengukur saja, katanya mudharat, dan beberapa dosen juga berkata demikian. Hari itu aku merasa sendiri, jika tak kuat bisa pasrah saja.
Setelah melaju dengan kecepatan tinggi dari Kantor Small Kindness Lamprit menuju Darussalam, tanpa memperdulikan polisi tidur dan pandangan orang lain terhadap laju sepeda motorku, akhirnya sampai ke kampus kembali. Aku  syok saat tukang jahit tersebut sudah tidak ada lagi di tempat. Maka pertualangan berikutnya baru akan dimulai. Bagaimana caranya agar sempel baju itu sampai ke tukang jahit. Singkat cerita yang harus kulakukan adalah berjumpa dengan ketua tim kontingen IAIN Ar-Raniry atau penanggung jawabnya lah. Aku pasrah saja saat harus  “dirapal” dengan berbagai “mantra”. Ku terima saja semua nasehat itu tanpa banyak bicara. Kisah selanjutnya, dari perjuangan keistiqomahan ini aku bisa request “gaun” impian alias baju gamis yang aku bayangkan akan presentasi dengannya anggun nan percaya diri kepada  tukang jahit. (dan alhamdulillah jadi kenyataaan).
Kejadian ini menghebohkan Fakultas Dakwah. Pihak kampus merasa aku mempermalukannya. Sementara itu, aku sudah pergi ke “perantauan”, di lapangan tempat kuliyah pengabdian masyarakat (KPM), sebuah desa nan jauh dari ibu kota kabupatennya, Meulaboh. Di kampus, kabar ini menjadi omongan. Dan “kasus”ku ini sempat disidangkan. “Seharusnya kamu sudah dipalang dari daftar keberangkatan ke Banten,” begitu kata Dekan fakultas Dakwah saat aku kebetulan sedang mencoba berkonsultasi dengannya perihal tugas lapanganku melalui telepon seluler. Namun, tiba-tiba saja ia yang awalnya mengaku sedang sakit berubah mempunyai energi yang besar untuk membahas “kasus” ini kepadaku. Perbincangan pun berlangsung lama. Yang aku lakukan tak banyak, hanya diam saja, percuma kalaupun aku menjelaskan lelaki yang berjuluk Guru Besar dan sudah pengalaman berkeliling dunia ini juga tidak akan mau menerima.
Tak hanya dekan, siapa saja yang berjumpa denganku, pada saat itu akan bertanya perihal “aneh” ini. Aku rasa memang aneh dan remeh, aku hanya tak ingin diambil ukuran baju oleh laki-laki, dan si tukang jahit pun nampak tak masalah. Bahkan setelah itu, aku menjadi satu-satunya peserta yang paling akrab dengan si Bapak tukang jahit, ia sering menghubungiku, menanyakan ukuran yang pas, maklum, diukur dengan baju sempel banyak kekurangannya. Aku pun diijinkannya mendesain sendiri seragam tersebut. Alhamdulillah, kemenangan pertama bukti dari kesungguhan menjaga istiqomah.
Setelah pembahasan masalah ukur-mengukur, Pak Dekan tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Di balik itu semua ia mengaku bangga padaku, karena mahasiswa Fakultas Dakwahnya menjadi perwakilan kampus IAIN Ar-Raniry.  Elfira (salah satu) kebanggaan saya,” ucapnya disebrang melalui telepon seluler. Meski tak melihat wajahnya, namun kata-kata itu masuk lewat telinga dan mengaliri seluruh tubuhku. Setelahnya aku bertekad untuk benar-benar membuktikan bahwa dengan keberadaanku bisa membanggakan Dakwah. (Dan alhamdulillah aku yang awalnya disangka telah memalukan justru diakui telah mengharumkan nama Dakwah). Aku awali langkah ini dengan menyusun program gebrakan di tempat Kuliyah Pengabdian Masyarakat (KPM) ku. Yang orang di kampung lain tidak bisa melalukannya. Sebuah perencaan event besar. Sekali lagi, setelah proses perjuangan dan pengorbanan besar kegiatan itu bisa kami wujudkan dengan izin Allah. Dan mendapat pujian dari kawan-kawan sesama peserta kampung lain. Masyarakat di kampung kami merasa kepercayaan dirinya mulai tumbuh setelahnya. Bahkan mereka sulit melepaskan kami setelah masa kerja lapangan ini usai.
Ujian berikutnya datang. Pak dekan memaksa, agar setelah selesai kuliyah lapangan, ketika sudah pulang aku langsung menjumpainya. Dan bukan itu masalahnya. Yang menjadi masalah adalah ia “memaksa” untuk bersalaman dengannya. Meski umurnya seperti orang tuaku, rambut putih, sudah kuanggap seperti orang tua, namun ia belumlah termasuk katagori kakek-kakek yang sudah boleh di salami. Dan saat ke pulangan tiba, aku dan beberapa orang teman serta seorang dosen muda yang mendampingi, bersilahturrahmi ke rumahnya. Saat itu masih momen lebaran. Selain itu aku juga ingin meminta izin untuk keberangkatan  ke Banten. “Jangan masuk rumah saya kalau belum bersalaman dengan saya,” kata Pak Dekan setelah membuka pintu rumah, sementara kawan-kawan yang lain langsung masuk ke dalam sambil menertawakanku. Wajahnya terlihat serius, tapi aku lebih serius lagi, “Ya udah... Fira pulang aja lagi,” kataku sambil mundur teratur menjauh dari pintu. Saat cukup jauh mendekati pintu pagar rumah, sang dosen muda memanggilku untuk masuk. Setelah beberapa perbincangan, aku pun memutuskan masuk. Pak Dekan pun ikut tertawa. Kesimpulanku adalah ia memang sedang menguji keistiqomahanku. Bahkan aku sempat mengatakan kepada dosen muda sang asisten dekan tersebut, jika perjuangan keistiqomahan ini harus aku bayar dengan digagalkannya cita-citaku enam tahun lalu, untuk mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat Nasional ini, maka akan ku korbankan.
Setelah perbincangan dengannya yang mengaku setuju dengan konsep “Islam Liberal”, ia memberikan nasehat kepadaku agar mewanti-wanti jika dewan juri nanti seperti pemikirannya bukan seperti pemikiranku (sunnah murni). Kupikir nasehat berharga. Menghadapi orang-orang yang pemikiran seperti ini memang butuh  metode. Harus pandai memilah-milih ucapan, pemikiran, karena ia juga merupakan gudangnya ilmu. Jadi ambil saja keilmuannya yang bermamfaat. Ibarat lautan yang luas, tak semuanya bisa menjadi hal berguna, perlu memilih hal-hal yang sesuai kegunaan. Di balik beberapa pemikirannya yang telah ia akui sendiri “liberal”, seorang Dekan Fakultas Dakwah sekarang ini adal sosok pribadi yang luar biasa. Aku mengaguminya, kecuali dalam beberapa hal perbedaan prinsip diantara kami. Aku memohon agar Allah senantiasa memberikan taufiq dan menunjukkan kekeliruan dari caranya berfikir.
Masalah dengan dekan beres, namun selanjutnya terfikir olehku saat wisuda nanti. Yang otomatis akan bersalaman dengan rektor juga. Wah, semua tekanan ini, menjadi bahan bakar dan energi untuk perjuanganku, untuk membuktikan bahwa keberadaanku bisa membanggakan Dakwah, membuktikan bahwa aku layak ke Banten. Dan untuk sebuah perjuangan lain nantinya, pada saat wisuda untuk tidak bersalaman dengan rektor. Kata “pahlawan” yang diucapkan rektor itu, memotivasiku, jika seandainya bisa kudapatkan satu medali, terserah juara berapa, maka aku akan membuat sebuah permintaan kepada rektor. Sebagai bagian yang disebut “Pahlawan”, sekarang aku sedang menunggu moment yang tepat untuk menyatakan permohonan itu.
Masih sangat banyak ujian keistiqomahanku menuju “Juara dua MKIQ Nasional” ini. Sebagian ini dulu yang aku ceritakan. Semoga bisa menjadi hikmah bagi yang membaca. Bahwa ketika kita mau memperjuangkan kemurnian ajaran yang sunnah ini, maka  pada saat berhasil akan ada hadiah terindah yang sedang Allah persiapkan. Semaikin besar perjuangan, semakin besar pula kesuksesan itu akan diraih. Allah hanya menguji, jadi tak perlu takut dengan cobaan-cobaan yang diberikanNya. Karena ketika istiqomah itu bisa dipertahankan, maka Allah pula lah yanga membantu dalam menghadapi ujian tersebut. Jangan sampai terkecoh dengan kenikmatan dunia. Alhamdulillah aku telah membuktikan indahnya ajaran sunnah yang mulia, sesuai dengan yang dicontohkan Rasul saw dan para Salaf.
Dan...
Kemenangan yang sesungguhnya lah yang didapatkan.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa kemenangan yang sesungguhnya itu adalah kemenangan yang disertai dengan keridhoan Allah swt.
 Saat keistiqomahanku diujiNya, ku coba jalani dan bertahan, meski beberapa kali sempat tertatih bahkan sampai “berdarah” dan air mata. Kemenangan ini sungguh indah tercicipi, setelah melalui perjuangan yang panjang. Dan resepku selama ini agar mampu bertahan adalah husnuzon alias positif thinking, baik kepada Allah maupun kepada orang lain meski yang berbuat tidak baik sekalipun, dan yang paling penting adalah kepada diri sendiri. Aku selalu memotivasi diri, membangun komunikasi intra personal di dalam dada setiap kali ujian datang. Setelah semua itu adalah, aku selalu menghadirkan Allah dalam setiap langkahku, bahkan untuk hal yang kecil dan remeh sekalipun. KepadaNya lah aku selalu mengadu dan menumpahkan jeritan hati atas segala cobaan dan perlakuan orang lain yang tidak menyenangkan. Tak lupa pula rasa syukur teramat dalam atas keberkatan yang diberiNya, berupa dikelilingi oleh orang-orang luar  biasa dalam bidangnya. Dan selanjutnya, mereka semualah yang menjadi guruku.