Mungkin dia laki-laki pertama yang sangat pemberani
mengungkapkan keinginan menikahnya denganku. Tapi, ku anggap gurauan dan hiburan saja. Mesti sempat juga
tersipu malu-malu lalu dibarengi tawa lepasku.
Mungkin ilustrasi rada ngak sesuai. heheh, tak da foto laen. |
“Kalau saya sudah berumur 24 tahun, saya mau menikah dengan
ustazah (saya),” kata Reza, laki-laki putih yang masih berusia 7 tahun itu
kepadaku. Aku sempat terdiam dan tidak percaya murid TPA ku itu bisa
mengucapkan kata-kata tersebut padaku yang sudah berumur 21 tahun. Namun tak
lama, tawaku pun pecah dan hanya senyum tersipu setelah sebelumnya hanya
terdiam tanpa bisa berucap sepatah kata pun. Ku perhatikan lebih jelas ke
wajahnya. Apa yang salah dari anak ini. Ia tiba-tiba saja mengeluarkan
kata-kata itu pada saat latihan pidato sedang berlangsung.
“Ustazah manis, tapi kalau tidak ada tailalatnya, hahaha,”
tertawa Reza lepas dan terlihat puas
sekali setelah mengataiku. Aku hanya bisa mencubit pipinya. Lalu ia berteriak,
“Aw!” dengan cara yang centil. Kali ini sedikit dongkol aku padanya, ni anak kog jujur banget. Memang lah kulit wajahku
yang kuning langsat tampak mencolok dengan 5 tailalat di muka.
Tak menunggu lama, aku langsung
menjelaskan tentang apa yang barusan ia katakan dengan semampuku. Maklum, ini
kali pertama menjumpai laki-laki kecil berfikiran dan berbicara dewasa. Posisi
duduk antara aku dan Reza awalnya hanya setengah meter saja, namun cepat ku
ubah dan menjauh darinya.
“Udah ya Reza, sekarang panggil kawan yang lain,” pintaku padanya
untuk memanggil kawan lain yang sedang menunggu gilirannya. Setelah hari itu,
saya berusaha lebih banyak membaca buku-buku psikologi dan parenting. Serta
berdiskusi dengan pengajar yang sudah berpengalaman, supaya mendapatkan
pencerahan. Karena pada saat saya lapor ke pihak TPA, mereka hanya menggap
kelucuan semata. Namun tidak bagi saya, saya semakin penasaran dan mendalami
karakter si anak. Bukan, bukan karena dia menyatakan perasaannya, tapi karena
kekhawatiran saya akan masa depannya. Mungkin saja sebenarnya ia tidak
betul-betul paham terhadap apa yang ia sampaikan tersebut.
Pada lain kesempatan saat aku sedang
mengajar kelompok santriwan 6-9 tahun, Reza yang masih berumur 6 tahun sempat
mengatakan hal aneh pula. Namun pada saat itu, sama sekali tidak ku hiraukan.
Ketika itu aku bersikap tegas terhadap Reza yang melakukan kesalahan, rupanya
ia mendongkol. Tak lama kemudian saat kuajak ia bicara namun ia malah
mengatakan, “Eh, ngapain ngomong-ngomong sama saya lagi! Kita kan, sudah
putus!” kata Reza setahun sebelumnya.
Santri-santri yang lain pun tak tinggal diam, memamfaatkan
situasi dan ikut menggodaku. “Ciye...Ciye... Reza pacaran sama Ustazah...” kata
Razi dan disambut secara koor oleh santri yang lain.
“Apa itu pacaran Nak? Kita ngak boleh ngomong yang kita belum
tahu. Kita harus tahu dulu, baru ngomong,” jelasku yang belum banyak pengalaman
mengajar. Sekitar tujuh orang anak dalam satu kelompok itu saling mengemukakan
pendapat. Aku mendidik mereka memang demokratis, masing-masing boleh
mengemukakan pendapat. Setelah itu barulah aku memberikan penjelasan kepada
mereka.
Sebagian besar anak menjelaskan
dengan cara yang salah. Tapi tidak dengan si Reza, sepertinya ia sangat tanggap
dengan masalah seperti ini. Dari mana ia mendapatkan pengetahuan sejauh itu,
pikirku. Lalu ku luruskan masalah tersebut. Positif thinking saja, momen ini ku
ambil untuk menjelaskan pengertian pacaran, hukumnya dalam agama Islam, bahaya,
dsb. Anak-anak sekarang memang harus dijelaskan sejak dini. Namun tentu dengan
batasan dan sesuai dengan umur mereka. Disinilah guru dituntut untuk leboh
cerdas dan mengasah diri dengan banyak referensi. Pada saat aku menjelaskan,
sempat aku bertanya lagi,
“Nah, boleh ngak pacaran itu?”
“Ngak...”jawab semua santri secara koor. Namun seperti ada
satu suara sumbang disitu. Kuusahakan mendengar lebih jelas lagi.
“Siapa yang bilang boleh?” tanyaku lagi.
“Saya, Ustazah,” sahut Reza dengan tenang dan mengancungkan
telunjuk.
“Ngak boleh, e...” kata kawannya yang lain.
Aku hanya diam, sengaja menunggu kelanjutan dari penjelasan
si Reza. Kali ini semua mata tertuju padanya, menanti penjelasannya.
“Iya kan, Ustazah? Kalau sudah menikah, sudah boleh pacaran.
Kan, sudah sah,” jawab Reza mantap sambil tersenyum puas.
“Em... iya, benar juga sih kata Reza. Pacaran baru boleh
dilakukan setelah menikah,” jelasku dengan perasaan keheranan, tidak menyangka
Reza bisa berfikir sejauh itu. Dengan mantap dan sangat cerdas. Cara
berfikirnya luas, seperti bukan anak berumur 6 tahun saja.
“Nah, nikah itu bagaimana sih?” tanya Razi yang mulai
antusias dengan topik ini.
“Nikah itu...” belum habis Reza bersuara, tapi dengan cepat
aku terpaksa memotong. Aku khawatir jika Reza memberikan informasi yang belum
terfilter sehingga bisa mempengaruhi kawan-kawan yang lain. Apalagi pikirannya
tentang itu terlalu dewasa untuk anak seumurannya. Penjelasan ku ambil alih
sekarang. Sedangkan Reza hanya terdiam dan terus menatap lekat-lekat ke arah
wajahku. Seolah pura-pura tak tahu, aku pun juga melirik memperhatikan pola
tingkahnya. Saat ku tatap ke arahnya, ia langsung memalingkan wajahnya.
Kisah ini adalah ironi pertumbuhan
anak-anak masa kini. Ia terlalu dewasa saat usia masih kanak-kanak. Pengaruh
pendidikan, pola asuh dan lingkungan sangat menentukan ia. Apa jadinya kelak ia
setelah dewasa. Reza hanya salah satu fenomena gunung es. Dan ia hanya bersikap
begitu kepadaku, sedangkan dengan guru-guru yang lain ia bersikap normal
layaknya anka-anak seumurannya. Berkepribadian ganda, pikirku. Bisa jadi hal
ini juga menimpa anak kita yang terlihat diam dan polos. Batasi pergaulan si
kecil. Setelah beberapa kali mencari informasi tentang Reza, baru lah saya tau,
ternyata “pengetahuannya” itu berasal dari seorang “Oom” kawan mainnya. Secara
diam-diam ia juga memperhatikan bahkan melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut.
Termasuk browsing internet tanpa pengawasan. Sudah pasti semua sampah masuk ke
otaknya, tanpa terfilter.
Cerita yang menarik syu :D
BalasHapusKak Eki makasih ya dah baca. T_T terharu baru tau kakak ikut baca. hehe
HapusGood story kak😊
BalasHapusDinanti karya Kaka selanjutnya^^