Minggu, 22 Juni 2014

Karena Asam Sunti Kita Berbeda


(Cerpen ini diperlombakan pada kegiatan Peksimida, Kampus Al-Muslim, Bireun. Alhamdulillah meraih juara 2 se-Aceh)




“Cuih! Rasanya asam sekali kuah ini,” Da Maneh meludah sisa kuah di mulutnya, sambil meletakkan sendok kuah setengah melempar ke dalam belanga tanah. Bibir melengkung ke bawah, dahinya berkerut. “Kalau tidak bisa memasak, ngapain menikah,” lanjut Da Maneh. 
Istri dari anaknya hanya diam saja, memaling sekilas, tak jauh dari belakang mertuanya. Ia seolah terlihat menyibuk di tempat pencucian piring kotor. Tak disangka, ternyata mulut mertuanya lebih asam dari kuah Asam Keueung yang dimasaknya.
Intan baru lah dua bulan menjadi menantu Da Maneh. Tepat bulan Mei lalu ia melangsungkan pernikahan sederhana dengan Mahlizar, laki-laki berkulit putih, mata kecoklatan dan rambut keriting. Dulu, mereka berjumpa di Bireun, saat sama-sama sedang singgah di rumah makan Sate Matang yang terkenal itu. Ketika itu, tersisa satu piring sate, namun ada dua pelanggan yang menanti, Mahlizar dan Intan. Sebagai lelaki, Mahlizar mengalah, mempersilahkan si pemilik rumah makan memberikan piring terakhir itu untuk Intan.
“Biar untuk adek ini saja, Pak,” kata pria yang mempunyai nada suara lembut ini.
            Si gadis menatap sang pria dan mengingat betul wajah itu. Ia terima saja jatah itu. Begitulah awal mula perjumpaan mereka, biasa saja memang. Tapi hal ini sungguh tak biasa di hati Intan Siti Zulaikha. Mahasiswi UIN Ar-raniry Banda Aceh, yang sedang melaksanakan Kuliyah Pengabian Masyarakat (KPM) di Bireun. Pembawaan Mahlizar yang lembut dan dianggap menghargai perempuan, telah berhasil memincut hati gadis 21 tahun ini.
***
Memang sudah adat orang Aceh Pidie, bahkan adat Islam sendiri, jika wanita yang dipinang oleh lelaki maka akan ikut dan tinggal bersama suami. Hal ini berbeda dengan orang Aceh Rayeuk, lelaki yang meminang, maka akan tinggal bersama keluarga perempuan.
            Perbedaan adat yang mencolok, sering tak terhindar dari masalah. Begitu juga dengan keluarga Mahlizar. Sejak pertama menikahi Intan, mertuanya memang tidak seberapa suka. Selain harga mayamnya yang cukup tinggi, 20 Mayam, ia juga dianggap sebagai gadis yang kurang bisa menjaga diri.
“Alah…, aneuk dara yang tinggal di kos itu, kan, kalau malam-malam kerjaannya melayani Om-Om hidung belang,” kata Da Maneh suatu ketika saat perkumpulan penarikan julo-julo di desa Sibreh.
Nyan keuh, Da Maneh. Saya sering mendengar langsung dari anak kos yang beli sayur sama saya di pasar Lambaro,” kata Ti Minah sambil mengunyah Timphan Asoe Kaya di mulutnya, sebagian isi Timphan moncrot keluar karena ia makan sambil bicara. “Kebanyakan memang awak blah deeh Seulawah,” sambung karibnya satu tumpoek duek tersebut. Wanita yang berselendang krem kusut dan baju merah tua bergetah pisang itu, kini mencomot Bada Pisang Abee.
“Demi kuliyah, semua mau mereka lakukan. Kalau kita orang Aceh Rayeuk, mana mau berbuat semacam itu.,” sambung Da Maneh lagi.
Jadi, tidak heran kalau Intan sering menjadi bulan-bulanan Da Maneh. Apalagi teman-teman kelompok julo-julonya juga menyampaikan dukungan seide. Bagaimana dengan anak laki-laki semata wayangnya itu? Mahlizar sering meyakinkan ibunya itu, bahwa Intan adalah gadis berbeda.
“Dia gadis baik-baik, Mak. Kuliyahnya di kampus agama pun. Meskipun tidak memakai baju kurung, dan jilbab lebar, tapi dia juga guru ngaji TPA di mesjid kampus,” jelas Mahlizar dengan lembut dan santun.
“Zaman sekarang, mana tentu. Yang kampus agama pun tidak jauh beda dengan yang umum,” selalu saja ada bantahan dari ibunya Mahlizar. Dalam persepsi ibu-ibu di kampong Sibreh, yang namanya anak kos memang negatif anggapan masyarakat. Karena tidak ingin durhaka, ia tak melanjutkan bantahannya.
***
“Allahu akbar, Allah…hu akbar,” suara azan magrib mengumandang.
Allahumma lakasumtu wabika aamantu…”Da Mane
h, Mahlizar,dan Intan berbuka puasa bersama.
“Abang, hari ini adek masak I Bu Peudah. Mau adek taruh ke pinee, kata Intan, lembut, setengah memanja. Maklum saja, mereka jarang sekali bisa berdua, kecuali di saat malam saja. Mahlizar yang bekerja sebagai tukang jual buah di simpang Lambaro sering pulang sore. Kadang-kadang harus ke daerah lain untuk mengambil buah langsung dari tempatnya. Misalkan, ke Takengon atau ke Bireun, seperti waktu pertama mereka bertemu. Awalnya Mahlizar ingin mengangkut panen papaya dari kebun koleganya.
I Bu Peudah, atau Kuah I, ini? Kog, tidak ada kelapanya?” Da Maneh buka suara saat membuka tutup saji biru dongker diatas meja makan. Rencana Intan ingin menyajikannya khusus untuk suami tercinta. Suasana berbuka hari pertama puasa yang awal syahdu, tiba-tiba menyeramkan. Hening.
Sebetulnya Intan tak ingin membantah. Ia sering dinasehati suaminya. Sebagai orang yang lebih berilmu, sudah seharusnya kita lebih sabar, apalagi dengan orang tua sendiri. Tapi, kali ini ia pun buka suara.
“Saya minta maaf, Mak. Waktu mau masak, di rumah tidak ada kelapa. Abang belum pulang. Kios jauh sekali, tidak ada motor ke sana,” jelas Intan pelan dengan wajah tertunduk, tanpa memaling ke arah mertuanya. Berharap mendapat pemakluman.
“Alah…,” sahut Da Maneh sambil melengkungkan bibir ke bawah dan berlalu pergi mengambil wudhu. “Kalau ada mau, pasti ada cara. Kan, bisa minta sama Nek Mariah di samping rumah sebentar,” tanpa melihat ke belakang.
Tinggal Intan dan suaminya. Meski berdua, sepertinya ia tak berkeinginan bermanja-manja lagi dengan Bang Mahlizar. Kalau bukan karena Bang Mahlizar, ingin sekali Intan membanting semangka bulat 4,5 kg di atas meja makan itu.
“Bang Mahli, Intan minta maaf.”
“Adek… Abang bangga pada Adek. Tidak ada yang harus dimaafkan.  Abang tau, sebetulnya Adek mengingat pesan Abang, jangan suka meminta ke tetangga, meski sesulit apapun.”
“Abang…” mata Intan berkaca, setetes-demi setetes membasaha pipinya yang putih kemerahan. Sekejap, tubuhnya sudah mendekap pemilik tulang rusuknya. Mahlizar pun membalas, memeluk dan mengelus bahu kiri istrinya.
“Abang sayang Adek,” (mengecup kening Intan). Sesaat erat berdua. Lalu, beranjak untuk shalat magrib berjamaah bersama, di kamar. Ibu mertua sudah duluan solat sendiri di ruang tamu depan.
***
Puasa sudah berlalu beberapa hari. Intan senang berada di bulan penuh berkah ini. Salah satunya, karena intensitas pertemuannya dengan Cut Bang tercinta semakin tinggi. Cukuplah mengobati stresnya bersama mertua di rumah.  Semenjak menikah dengan Mahlizar Intan memilih tidak melanjutkan kuliyahnya yang tinggal menyelesaikan skripsi saja. Gadis manis berparas ayu ini memang ingin mengabdikan diri sepenuhnya. Meski ada sedikit kekecewaan dari pihak keluarganya di Pidie sana. Sehingga pihak keluarganya pun ikut keberatan pada awal pernikahan mereka. Namun keinginan dua insan yang saling mencinta ini tak dapat dibendung. Toh, bukan untuk pacaran, tapi untuk menikah. Tak melanggar perintah Tuhan. Meski sederhana dan tak banyak tamu yang diundang, tapi mereka bahagia.
“Abang…” Intan melembutkan suara dan tersenyum manja kepada Bang Mahlinya. Dirangkulnya tangan kanan suaminya. “Sore ini kita buka puasa di luar aja, boleh?” “Berdua?”
“Eu eu… Berdua saja,”Intan mengiya, mata bundarnya semakin melebar, bibirnya terkatup dua.
Sudah lama Intan menanti momen langka ini. Menghabiskan sore, jalan-jalan ke Taman Rusa, sampai singgah ke Ayam Tangkap Pak Aiyub di Jembatan Ulee Kareeng. Romantis. Pikir Intan dalam hati. Mereka memang belum sempat menjalin hubungan pacaran sebelum menikah. Maklum, kesibukan di kampus, semester akhir sangat padat. Paling hanya sms-an dan saling mengirim hadiah. Mahlizar mengirim buah Melon Apel kesukaan Intan, dan Intan pun mengirimkan buku “Indahnya Merayakan Cinta,” karya Salim A.Fillah. Meski bukan orang yang suka membaca, tapi, karena hadiah dari Intan maka ia pun melahapnya sampai habis. Hingga tak ragu lagi untuk benar-benar merayakan cinta bersama sang gadis.
“Adek pesan apa?” Tanya Mahlizar sambil menatap istrinya lekat. Ia terlihat lebih manis dengan jilbab merah hati. Tapi, ada yang berbeda, pipinya mulai sedikit berisi.
Intan memesan Ayam Tangkap, potongan buah Melon Apel, sirup merah dengan serutan mentimun. Sedangkan Mahlizar memesan Mie Aceh, the dingin dan Cumi Pheb. Karena permintaan istrinya, ia juga membawa pulang makanan untuk ibu di rumah. Gulai Plik U dan Kuah Sie Kameeng jadi pilihan mereka untuk ibu di rumah. Sayang juga, hari ini beliau berbuka sendiri.
“Sayang juga, Mamak sering makan tidak enak gara-gara Adek yang masak.”
“Bukan tidak enak sayang, tapi beda selera saja. dan  Kan, masakan ureung Aceh Rayeuk berbeda dengan orang Pidie. Kalau di kampong Adek, Abang yakin, pasti masakan Adek enak banyak,” jelas Mahlizar sambil mencubit pipi istrinya yang mulai berisi.
“Ha? Enak banyak? Enak sekali.”
“Enak sekali, hanya sekali saja. Kalau banyak, tidak terhitung enaknya.”
“Hahaha…” Tertawa bersama, meski humornya garing.
“Ngomong-ngomong, adek sudah gendut sekarang, ya?”
            Intan tersenyum dan diam sejenak. Matanya mengarah ke kiri, tak memandang Bang Mahli sejenak. Sambil senyum simpul tersungging di bibirnya. Ia senang, baru sekarang Mahlizar benar-benar memperhatikan perubahan pada dirinya.
“Adek Hamil, Bang.”
“Betul, Dek?” Tanya Mahlizar meyakinkan. “ Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas nikmat-Mu ini. Sejak kapan Dek?”
“Sekitar sebulan yang lalu, Bang. Hal itu juga yang sebetulnya ingin adek kabarkan ke Abang, hari ini.”
            Selesai buka puasa romantis, mereka memburu pulang, agar bisa berjamaah di kampungnya, Sibreh. Di atas sepeda motor bebek merah silver, Intan memeluk erat pinggang suaminya. Dengan kecepatan sedang, magrib itu melewati Lambaro yang gelap dan sepi. Langit malam itu, mendung. Sesekali tangan kiri Mahlizar mengenggam tangan kiri istrinya. Seolah ia tak ingin kehilangan istri dan calon jabang bayinya.
***
Beberapa bulan berlalu. Kini usia kandungan Intan beranjak tujuh bulan. Artinya, sudah saatnya dilaksanakan prosesi Mee Bu. Mertua pihak laki-laki menyediakan khanduri kecil untuk kehamilan pertama si menantu perempuan. Buah-buahan, Bu Leukat Kuneeng, Tumpoe, Timphan dan Peunajoh Aceh lainnya disajikan. Mungkin lain tempat, lain pula sajiannya. Tujuannya untuk menyenangkan hati si menantu.
“Alah, hai Ti Baedah, saya malas sekali sebetulnya menimang adat seperti ini.”
“Yah, sudah begini adat nenek moyang kita, jalani saja. Adat tidak boleh kita  buang. Itu harus kamu ingat Maneh.”
            Tak sengaja Intan mendengar percakapan mertuanya dan Wa Baedah. Kalau saja bisa, ia lebih memilih untuk tidak usah saja diadakan tujuh bulanan ini. Selain merepotkan ibu-ibu dan para aneuk dara desa, keuangan suaminya juga menipis. Semakin hari, tingkah mertuanya semakin makan hati. Sebetulnya dia sudah tidak tahan lagi, tapi ia bersabar untuk suaminya. Suaminya pun tidak banyak membantah ibunya. Ia cendrung mendiami saja. Atau menyarankan sabar kepada istrinya.
***
“Wa Maneh, tidak lama lagi akan punya cucu ya. Selamat ya, cucunya orang Pidie. Hehehe,” Mirna menggoda Da Maneh. Makin panas hatinya. Kalau boleh memilih ia tak ingin bercucukan orang Pidie. Sepertinya rasa tak senang kepada Intan semakin menjadi-jadi, bahkan sekarang mulai turun ke cucunya. Sebaik dan sesabar apapun menantunya, seolah tak ada artinya apa-apa bagi Da Maneh.
“Jangan banyak eek minyeuk, sini! Bantu Wa mu ini menyiapkan buahan.
“Hahaha, get Wa,” kata Intan yang masih sepupu jauh Mahlizar. Jika tak menikahi Intan, maka anaknya akan dijodohkan dengan gadis ini. Biar harta warisan tidak lari ke orang lain, pikir Da Maneh. “Apa saja Wa, yang harus ditaruh di tafsi?” Tanya gadis berkerudung kuning dengan poni keluar kedepan.
“Yang murah-murah saja, papaya ada di belakang rumah. Kau petik sebentar. Oh ya, Sirsak juga bisa, samping pohon Jeruk nipis di samping kandang kambing. Biar Apel sama Pir ini kita simpan saja. Sayang, terbuang-buang.”
Dari pagi pihak mertuanya sudah menyiapkan sajian khanduri Mee Bu untuk tujuh bulanannya Intan. Rombongan keluarga Intan baru akan sampai nanti siang
***
“Assalamu’alaikum…” rombongan dari Pidie sudah tiba ke Sibreh.
Piyoh, besan…” sambut Da Maneh dengan senyum dibuat-buat. Ia ingin terlihat ramah di depan penduduk desa. Da Maneh menyambutnya sendiri, karena Mahlizar sudah lama yatim, sejak ia masih kecil umur sembilan tahun, ayahnya meninggal jadi korban konflik.
Setelah berkumpul rombongan dari Pidie, dan makanan sudah disajikan, serta diatur dengan rapi di Seuramoe Keu. Intan duduk bersama mendampingi orang tuanya. Begitu juga Mahlizar, ikut mendampingi istrinya yang perutnya kian membesar.
Tiba-tiba.
“Hai! Apa kalian mau membunuh anak saya!?” suara Ibunya Intan menggelegar seruangan. Suasana mencekam. Tetamu keheranan. Begitu juga dengan warga desa yang menghadiri khanduri. “Intan, ayo kita pulang segera, betul lah firasat Mak selama ini, ternyata kamu memang diperlakukan dengan kejam.”
“Kenapa begitu, besan? Jangan marah-marah” tanya Da Maneh mulai memanas juga.
“Apa jangan marah-marah! Anak saya mau kalian racuni jus Sirsak dan Jeruk Nipis, apa tidak marah.” Seseorang menyajikan Sirsak blender dengan potongan jeruk nipis di samping gelas. Bersama buah-buah dan jus yang lain disediakan diatas tafsi.
Jak peh teem. Saya tidak melakukan itu. Saya juga orang percaya Tuhan. Meracuni orang lain dosa besar. Saya TIDAK melakukan itu!” Da Maneh terpancing dan kini berkacak pinggang.
Ibu Intan menarik tangannya  di seblah kiri dan ayahnya di seblah kanan.
“Ayah sedih melihatmu begini. Seumur hidupmu nyamuk pun tak akan ayah biarkan menggigitmu, sekarang mau diracuni orang. Ayah tidak terima. Ayo kita pulang Nak!” Ayahnya jauh lebih tenang dari ibunya.
            Jelas, Intan terkejut dan tubuhnya berguncang. Jilbab merah jambunya basah di bagian pipi.
“Alah hai Pidie Prak! Bawa pulang sana, anakmu! Aku pun tak sudi menantukan dia.” Da Maneh emosi.
Mahlizar memegang ibu dan menenangkannya. “Cukup, Mak, cukup. Tidak baik orang tua seperti ini.”
Mobil Kijang ‘90-an berwarna silver mulai dihidupkan kuncinya. Satu persatu pemiliknya masuk. Bahkan dalam keadaan sangat terburu. Mahlizar terlambat menyadari istrinya sudah di mobil. Jaraknya tiga puluh meter dari teras rumahnya.
“Adek… Tunggu!...” Teriak Mahlizar sambil terus mengejar laju mobil yang membawa istrinya.
            Rumah Mahlizar tak jauh dari jalan raya simpang Sibreh. Mobil yang tadi lambat karena berdesak kini mulai cepat, karena di jalan raya tak ada lagi deretan parkiran tetamu. Mahlizar terus mengejar hingga ke jalan raya. Sebelum mobil Kijang itu sampai ke belokan simpang, sebuah Carry Honda merah melaju kencang, mobil itu mendadak mengerem ketika melihat ada pria yang berlarian di tengah jalan. Tiba-tiba…
“Braaak!”
“BANG…!” Jeritan Intan sejadi-jadinya.



Lembar Keterangan;
Asam Sunti: belimbing sayur  yang dikeringkan, ditaburi garam
Mayam: satuan emas di Aceh. 1 Mayam= 3,33 gram emas
Aneuk dara: anak dara
Julo-julo: sebuatan untuk arisan di Aceh
Nyan keuh: itu lah (kalimat meyakinkan)
Awak blah deeh Seulawah: Sebelah sana gunung Selawah (sebutan untuk orang Pidie oleh orang Aceh Rayeuk)
Tumpoek Duek: kerumunan ibu-ibu (konotasi negative, ibu-ibu tukang gosip)
Piyoh: mampir
Seuramoe Keu: Serambi depan Rumoeh Aceh
Jak Peh Teem: omong kosong
Pidie Prak: sebutan orang Pidie, karena dianggap pelit
Tafsi: talam kecil


 #Mohon saran dan masukannya lagi oleh pembaca budiman. Beberapa komentar dari:
-K.Nuril: EYD kurang
-K.Beby: Endingnya bahaya, tidak boleh lari dari masalah. Ini kesalahan fatal. Padahal niatnya mau bikin tragis aja.


4 komentar:

  1. “Hahaha, get Wa,” kata Intan yang masih sepupu jauh Mahlizar. Jika tak menikahi Intan, maka anaknya akan dijodohkan dengan gadis ini.

    Sepupunya namanya Intan juga ya? Knpa ga pakai nama lain aja, Syu? Biar ga pening pembaca.

    Isni suka ceritanya khas bangeeeeet. Berasa kali bedanya, cuma kenapa Bang Mahli yang tertabrak, knpa nggak aku aja. #lho? XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahhahahha...baru baca komen kalian setelah berabad lamanya.
      Itu silap bgt soal nama tokoh.hahhah

      Hapus
  2. Serruuuuu Syuhada!
    Terasa sekali Acehnya..
    go go go Aceh Rhayeukk!!

    BalasHapus
  3. Bereehh that kak Syu..... klau awak aceh rayeuk yg baca trasa kali gregetnya!!!

    BalasHapus