(Cerpen ini diperlombakan pada kegiatan Peksimida, Kampus Al-Muslim, Bireun. Alhamdulillah meraih juara 2 se-Aceh)
“Cuih! Rasanya asam sekali kuah ini,”
Da Maneh meludah sisa kuah di mulutnya, sambil meletakkan sendok kuah setengah
melempar ke dalam belanga tanah. Bibir melengkung ke bawah, dahinya berkerut.
“Kalau tidak bisa memasak, ngapain menikah,” lanjut Da Maneh.
Istri dari anaknya hanya
diam saja, memaling sekilas, tak jauh dari belakang mertuanya. Ia seolah
terlihat menyibuk di tempat pencucian piring kotor. Tak disangka, ternyata mulut
mertuanya lebih asam dari kuah Asam Keueung yang dimasaknya.
Intan baru lah dua bulan
menjadi menantu Da Maneh. Tepat bulan Mei lalu ia melangsungkan pernikahan
sederhana dengan Mahlizar, laki-laki berkulit putih, mata kecoklatan dan rambut
keriting. Dulu, mereka berjumpa di Bireun, saat sama-sama sedang singgah di
rumah makan Sate Matang yang terkenal itu. Ketika itu, tersisa satu piring
sate, namun ada dua pelanggan yang menanti, Mahlizar dan Intan. Sebagai lelaki, Mahlizar mengalah, mempersilahkan si
pemilik rumah makan memberikan piring terakhir itu untuk Intan.
“Biar untuk adek ini saja, Pak,” kata
pria yang mempunyai nada suara lembut ini.
Si
gadis menatap sang pria dan mengingat betul wajah itu. Ia terima saja jatah
itu. Begitulah awal mula perjumpaan mereka, biasa saja memang. Tapi hal ini
sungguh tak biasa di hati Intan Siti Zulaikha. Mahasiswi UIN Ar-raniry Banda
Aceh, yang sedang melaksanakan Kuliyah Pengabian Masyarakat (KPM) di Bireun.
Pembawaan Mahlizar yang lembut dan dianggap menghargai perempuan, telah
berhasil memincut hati gadis 21 tahun ini.
***
Memang sudah adat orang
Aceh Pidie, bahkan adat Islam sendiri, jika wanita yang dipinang oleh lelaki
maka akan ikut dan tinggal bersama suami. Hal ini berbeda dengan orang Aceh
Rayeuk, lelaki yang meminang, maka akan tinggal bersama keluarga perempuan.
Perbedaan
adat yang mencolok, sering tak terhindar dari masalah. Begitu juga dengan
keluarga Mahlizar. Sejak pertama menikahi Intan, mertuanya memang tidak
seberapa suka. Selain harga mayamnya yang cukup tinggi, 20 Mayam, ia juga
dianggap sebagai gadis yang kurang bisa menjaga diri.
“Alah…, aneuk dara yang
tinggal di kos itu, kan, kalau malam-malam kerjaannya melayani Om-Om hidung
belang,” kata Da Maneh suatu ketika saat perkumpulan penarikan julo-julo
di desa Sibreh.
“Nyan keuh, Da Maneh. Saya
sering mendengar langsung dari anak kos yang beli sayur sama saya di pasar
Lambaro,” kata Ti Minah sambil mengunyah Timphan Asoe Kaya di mulutnya,
sebagian isi Timphan moncrot keluar karena ia makan sambil bicara.
“Kebanyakan memang awak blah deeh Seulawah,” sambung karibnya satu tumpoek
duek tersebut. Wanita yang berselendang krem kusut dan baju merah tua
bergetah pisang itu, kini mencomot Bada Pisang Abee.
“Demi kuliyah, semua mau mereka
lakukan. Kalau kita orang Aceh Rayeuk, mana mau berbuat semacam itu.,” sambung
Da Maneh lagi.
Jadi, tidak heran kalau
Intan sering menjadi bulan-bulanan Da Maneh. Apalagi teman-teman kelompok julo-julonya
juga menyampaikan dukungan seide. Bagaimana dengan anak laki-laki semata
wayangnya itu? Mahlizar sering meyakinkan ibunya itu, bahwa Intan adalah gadis
berbeda.
“Dia gadis baik-baik, Mak. Kuliyahnya
di kampus agama pun. Meskipun tidak memakai baju kurung, dan jilbab lebar, tapi
dia juga guru ngaji TPA di mesjid kampus,” jelas Mahlizar dengan lembut dan
santun.
“Zaman sekarang, mana tentu. Yang
kampus agama pun tidak jauh beda dengan yang umum,” selalu saja ada bantahan
dari ibunya Mahlizar. Dalam persepsi ibu-ibu di kampong Sibreh, yang namanya
anak kos memang negatif anggapan masyarakat. Karena tidak ingin durhaka, ia tak
melanjutkan bantahannya.
***
“Allahu akbar, Allah…hu akbar,” suara
azan magrib mengumandang.
“Allahumma lakasumtu wabika
aamantu…”Da Mane
h, Mahlizar,dan Intan berbuka puasa bersama.
“Abang, hari ini adek masak I Bu
Peudah. Mau adek taruh ke pinee, kata Intan, lembut, setengah
memanja. Maklum saja, mereka jarang sekali bisa berdua, kecuali di saat malam saja. Mahlizar
yang bekerja sebagai tukang jual buah di simpang Lambaro sering pulang sore.
Kadang-kadang harus ke daerah lain untuk mengambil buah langsung dari
tempatnya. Misalkan, ke Takengon atau ke Bireun, seperti waktu pertama mereka
bertemu. Awalnya Mahlizar ingin mengangkut panen papaya dari kebun koleganya.
“I Bu Peudah, atau Kuah I,
ini? Kog, tidak ada kelapanya?” Da Maneh buka suara saat membuka tutup saji
biru dongker diatas meja makan. Rencana Intan ingin menyajikannya khusus untuk
suami tercinta. Suasana berbuka hari pertama puasa yang awal syahdu, tiba-tiba
menyeramkan. Hening.
Sebetulnya Intan tak
ingin membantah. Ia sering dinasehati suaminya. Sebagai orang yang lebih
berilmu, sudah seharusnya kita lebih sabar, apalagi dengan orang tua sendiri.
Tapi, kali ini ia pun buka suara.
“Saya minta maaf, Mak. Waktu mau
masak, di rumah tidak ada kelapa. Abang belum pulang. Kios jauh sekali, tidak
ada motor ke sana,” jelas Intan pelan dengan wajah tertunduk, tanpa memaling ke
arah mertuanya. Berharap mendapat pemakluman.
“Alah…,” sahut Da Maneh sambil
melengkungkan bibir ke bawah dan berlalu pergi mengambil wudhu. “Kalau ada mau,
pasti ada cara. Kan, bisa minta sama Nek Mariah di samping rumah sebentar,”
tanpa melihat ke belakang.
Tinggal Intan dan
suaminya. Meski berdua, sepertinya ia tak berkeinginan bermanja-manja lagi
dengan Bang Mahlizar. Kalau bukan karena Bang Mahlizar, ingin sekali Intan
membanting semangka bulat 4,5 kg di atas meja makan itu.
“Bang Mahli, Intan minta maaf.”
“Adek… Abang bangga pada Adek. Tidak
ada yang harus dimaafkan. Abang tau,
sebetulnya Adek mengingat pesan Abang, jangan suka meminta ke tetangga, meski
sesulit apapun.”
“Abang…” mata Intan berkaca,
setetes-demi setetes membasaha pipinya yang putih kemerahan. Sekejap, tubuhnya
sudah mendekap pemilik tulang rusuknya. Mahlizar pun membalas, memeluk dan
mengelus bahu kiri istrinya.
“Abang sayang Adek,” (mengecup kening
Intan). Sesaat erat berdua. Lalu, beranjak untuk shalat magrib berjamaah
bersama, di kamar. Ibu mertua sudah duluan solat sendiri di ruang tamu depan.
***
Puasa sudah berlalu
beberapa hari. Intan senang berada di bulan penuh berkah ini. Salah satunya,
karena intensitas pertemuannya dengan Cut Bang tercinta semakin tinggi.
Cukuplah mengobati stresnya bersama mertua di rumah. Semenjak menikah dengan Mahlizar Intan
memilih tidak melanjutkan kuliyahnya yang tinggal menyelesaikan skripsi saja.
Gadis manis berparas ayu ini memang ingin mengabdikan diri sepenuhnya. Meski
ada sedikit kekecewaan dari pihak keluarganya di Pidie sana. Sehingga pihak
keluarganya pun ikut keberatan pada awal pernikahan mereka. Namun keinginan dua
insan yang saling mencinta ini tak dapat dibendung. Toh, bukan untuk pacaran,
tapi untuk menikah. Tak melanggar perintah Tuhan. Meski sederhana dan tak
banyak tamu yang diundang, tapi mereka bahagia.
“Abang…” Intan melembutkan suara dan
tersenyum manja kepada Bang Mahlinya. Dirangkulnya tangan kanan suaminya. “Sore
ini kita buka puasa di luar aja, boleh?” “Berdua?”
“Eu eu… Berdua saja,”Intan mengiya,
mata bundarnya semakin melebar, bibirnya terkatup dua.
Sudah lama Intan menanti
momen langka ini. Menghabiskan sore, jalan-jalan ke Taman Rusa, sampai singgah
ke Ayam Tangkap Pak Aiyub di Jembatan Ulee Kareeng. Romantis. Pikir Intan dalam
hati. Mereka memang belum sempat menjalin hubungan pacaran sebelum menikah.
Maklum, kesibukan di kampus, semester akhir sangat padat. Paling hanya sms-an
dan saling mengirim hadiah. Mahlizar mengirim buah Melon Apel kesukaan Intan,
dan Intan pun mengirimkan buku “Indahnya Merayakan Cinta,” karya Salim A.Fillah.
Meski bukan orang yang suka membaca, tapi, karena hadiah dari Intan maka ia pun
melahapnya sampai habis. Hingga tak ragu lagi untuk benar-benar merayakan cinta
bersama sang gadis.
“Adek pesan apa?” Tanya Mahlizar
sambil menatap istrinya lekat. Ia terlihat lebih manis dengan jilbab merah
hati. Tapi, ada yang berbeda, pipinya mulai sedikit berisi.
Intan memesan Ayam
Tangkap, potongan buah Melon Apel, sirup merah dengan serutan mentimun.
Sedangkan Mahlizar memesan Mie Aceh, the dingin dan Cumi Pheb. Karena permintaan
istrinya, ia juga membawa pulang makanan untuk ibu di rumah. Gulai Plik U
dan Kuah Sie Kameeng jadi pilihan mereka untuk ibu di rumah. Sayang
juga, hari ini beliau berbuka sendiri.
“Sayang juga, Mamak sering makan
tidak enak gara-gara Adek yang masak.”
“Bukan tidak enak sayang, tapi beda
selera saja. dan Kan, masakan ureung
Aceh Rayeuk berbeda dengan orang Pidie. Kalau di kampong Adek, Abang yakin,
pasti masakan Adek enak banyak,” jelas Mahlizar sambil mencubit pipi istrinya
yang mulai berisi.
“Ha? Enak banyak? Enak sekali.”
“Enak sekali, hanya sekali saja.
Kalau banyak, tidak terhitung enaknya.”
“Hahaha…” Tertawa bersama, meski
humornya garing.
“Ngomong-ngomong, adek sudah gendut
sekarang, ya?”
Intan
tersenyum dan diam sejenak. Matanya mengarah ke kiri, tak memandang Bang Mahli
sejenak. Sambil senyum simpul tersungging di bibirnya. Ia senang, baru sekarang
Mahlizar benar-benar memperhatikan perubahan pada dirinya.
“Adek Hamil, Bang.”
“Betul, Dek?” Tanya Mahlizar
meyakinkan. “ Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih atas nikmat-Mu ini. Sejak
kapan Dek?”
“Sekitar sebulan yang lalu, Bang. Hal
itu juga yang sebetulnya ingin adek kabarkan ke Abang, hari ini.”
Selesai
buka puasa romantis, mereka memburu pulang, agar bisa berjamaah di kampungnya,
Sibreh. Di atas sepeda motor bebek merah silver, Intan memeluk erat pinggang
suaminya. Dengan kecepatan sedang, magrib itu melewati Lambaro yang gelap dan
sepi. Langit malam itu, mendung. Sesekali tangan kiri Mahlizar mengenggam
tangan kiri istrinya. Seolah ia tak ingin kehilangan istri dan calon jabang
bayinya.
***
Beberapa bulan berlalu.
Kini usia kandungan Intan beranjak tujuh bulan. Artinya, sudah saatnya
dilaksanakan prosesi Mee Bu. Mertua pihak laki-laki menyediakan khanduri
kecil untuk kehamilan pertama si menantu perempuan. Buah-buahan, Bu
Leukat Kuneeng, Tumpoe, Timphan dan Peunajoh Aceh lainnya disajikan.
Mungkin lain tempat, lain pula sajiannya. Tujuannya untuk menyenangkan hati si
menantu.
“Alah, hai Ti Baedah, saya malas
sekali sebetulnya menimang adat seperti ini.”
“Yah, sudah begini adat nenek moyang
kita, jalani saja. Adat tidak boleh kita
buang. Itu harus kamu ingat Maneh.”
Tak
sengaja Intan mendengar percakapan mertuanya dan Wa Baedah. Kalau saja bisa, ia
lebih memilih untuk tidak usah saja diadakan tujuh bulanan ini. Selain
merepotkan ibu-ibu dan para aneuk dara desa, keuangan suaminya juga menipis.
Semakin hari, tingkah mertuanya semakin makan hati. Sebetulnya dia sudah tidak
tahan lagi, tapi ia bersabar untuk suaminya. Suaminya pun tidak banyak
membantah ibunya. Ia cendrung mendiami saja. Atau menyarankan sabar kepada
istrinya.
***
“Wa Maneh, tidak lama lagi akan punya
cucu ya. Selamat ya, cucunya orang Pidie. Hehehe,” Mirna menggoda Da Maneh.
Makin panas hatinya. Kalau boleh memilih ia tak ingin bercucukan orang Pidie.
Sepertinya rasa tak senang kepada Intan semakin menjadi-jadi, bahkan sekarang
mulai turun ke cucunya. Sebaik dan sesabar apapun menantunya, seolah tak ada
artinya apa-apa bagi Da Maneh.
“Jangan banyak eek minyeuk,
sini! Bantu Wa mu ini menyiapkan buahan.
“Hahaha, get Wa,” kata Intan yang
masih sepupu jauh Mahlizar. Jika tak menikahi Intan, maka anaknya akan
dijodohkan dengan gadis ini. Biar harta warisan tidak lari ke orang lain, pikir
Da Maneh. “Apa saja Wa, yang harus ditaruh di tafsi?” Tanya gadis
berkerudung kuning dengan poni keluar kedepan.
“Yang murah-murah saja, papaya ada di
belakang rumah. Kau petik sebentar. Oh ya, Sirsak juga bisa, samping pohon
Jeruk nipis di samping kandang kambing. Biar Apel sama Pir ini kita simpan saja.
Sayang, terbuang-buang.”
Dari pagi pihak mertuanya
sudah menyiapkan sajian khanduri Mee Bu untuk tujuh bulanannya Intan.
Rombongan keluarga Intan baru akan sampai nanti siang
***
“Assalamu’alaikum…” rombongan dari
Pidie sudah tiba ke Sibreh.
“Piyoh, besan…” sambut Da
Maneh dengan senyum dibuat-buat. Ia ingin terlihat ramah di depan penduduk
desa. Da Maneh menyambutnya sendiri, karena Mahlizar sudah lama yatim, sejak ia
masih kecil umur sembilan tahun, ayahnya meninggal jadi korban konflik.
Setelah berkumpul
rombongan dari Pidie, dan makanan sudah disajikan, serta diatur dengan rapi di Seuramoe
Keu. Intan duduk bersama mendampingi orang tuanya. Begitu juga Mahlizar,
ikut mendampingi istrinya yang perutnya kian membesar.
Tiba-tiba.
“Hai! Apa kalian mau membunuh anak
saya!?” suara Ibunya Intan menggelegar seruangan. Suasana mencekam. Tetamu
keheranan. Begitu juga dengan warga desa yang menghadiri khanduri.
“Intan, ayo kita pulang segera, betul lah firasat Mak selama ini, ternyata kamu
memang diperlakukan dengan kejam.”
“Kenapa begitu, besan? Jangan
marah-marah” tanya Da Maneh mulai memanas juga.
“Apa jangan marah-marah! Anak saya
mau kalian racuni jus Sirsak dan Jeruk Nipis, apa tidak marah.” Seseorang
menyajikan Sirsak blender dengan potongan jeruk nipis di samping gelas. Bersama
buah-buah dan jus yang lain disediakan diatas tafsi.
“Jak peh teem. Saya tidak
melakukan itu. Saya juga orang percaya Tuhan. Meracuni orang lain dosa besar.
Saya TIDAK melakukan itu!” Da Maneh terpancing dan kini berkacak pinggang.
Ibu Intan menarik
tangannya di seblah kiri dan ayahnya di
seblah kanan.
“Ayah sedih melihatmu begini. Seumur
hidupmu nyamuk pun tak akan ayah biarkan menggigitmu, sekarang mau diracuni
orang. Ayah tidak terima. Ayo kita pulang Nak!” Ayahnya jauh lebih tenang dari
ibunya.
Jelas,
Intan terkejut dan tubuhnya berguncang. Jilbab merah jambunya basah di bagian
pipi.
“Alah hai Pidie Prak! Bawa
pulang sana, anakmu! Aku pun tak sudi menantukan dia.” Da Maneh emosi.
Mahlizar memegang ibu dan
menenangkannya. “Cukup, Mak, cukup. Tidak baik orang tua seperti ini.”
Mobil Kijang ‘90-an
berwarna silver mulai dihidupkan kuncinya. Satu persatu pemiliknya masuk.
Bahkan dalam keadaan sangat terburu. Mahlizar terlambat menyadari istrinya
sudah di mobil. Jaraknya tiga puluh meter dari teras rumahnya.
“Adek… Tunggu!...” Teriak Mahlizar
sambil terus mengejar laju mobil yang membawa istrinya.
Rumah
Mahlizar tak jauh dari jalan raya simpang Sibreh. Mobil yang tadi lambat karena
berdesak kini mulai cepat, karena di jalan raya tak ada lagi deretan parkiran
tetamu. Mahlizar terus mengejar hingga ke jalan raya. Sebelum mobil Kijang itu
sampai ke belokan simpang, sebuah Carry Honda merah melaju kencang, mobil itu
mendadak mengerem ketika melihat ada pria yang berlarian di tengah jalan.
Tiba-tiba…
“Braaak!”
“BANG…!” Jeritan Intan
sejadi-jadinya.
Lembar Keterangan;
Asam Sunti: belimbing sayur yang dikeringkan, ditaburi garam
Mayam: satuan emas di Aceh. 1 Mayam= 3,33
gram emas
Aneuk dara: anak dara
Julo-julo: sebuatan untuk arisan di Aceh
Nyan keuh: itu lah (kalimat meyakinkan)
Awak blah deeh Seulawah: Sebelah sana gunung Selawah (sebutan
untuk orang Pidie oleh orang Aceh Rayeuk)
Tumpoek Duek: kerumunan ibu-ibu (konotasi
negative, ibu-ibu tukang gosip)
Piyoh: mampir
Seuramoe Keu: Serambi depan Rumoeh Aceh
Jak Peh Teem: omong kosong
Pidie Prak: sebutan orang Pidie, karena dianggap
pelit
Tafsi: talam kecil
#Mohon saran dan masukannya lagi oleh pembaca budiman. Beberapa komentar dari:
-K.Nuril: EYD kurang
-K.Beby: Endingnya bahaya, tidak boleh lari dari masalah. Ini kesalahan fatal. Padahal niatnya mau bikin tragis aja.
“Hahaha, get Wa,” kata Intan yang masih sepupu jauh Mahlizar. Jika tak menikahi Intan, maka anaknya akan dijodohkan dengan gadis ini.
BalasHapusSepupunya namanya Intan juga ya? Knpa ga pakai nama lain aja, Syu? Biar ga pening pembaca.
Isni suka ceritanya khas bangeeeeet. Berasa kali bedanya, cuma kenapa Bang Mahli yang tertabrak, knpa nggak aku aja. #lho? XD
Hahhahahha...baru baca komen kalian setelah berabad lamanya.
HapusItu silap bgt soal nama tokoh.hahhah
Serruuuuu Syuhada!
BalasHapusTerasa sekali Acehnya..
go go go Aceh Rhayeukk!!
Bereehh that kak Syu..... klau awak aceh rayeuk yg baca trasa kali gregetnya!!!
BalasHapus