Senin, 23 Desember 2013

SENI SEVIYORUM SHAHIDA



“Karena ia  sangat dalam mencintaimu, nak,” kata nenek tua berbaju merah motif pernik-pernik kecil.
“A-pa?... “ Shahida tersentak berat, badannya gemetar hebat. Nada suaranya mendadak tinggi di depan wanita tua itu. “Kenapa ia tak pernah mengatakannya padaku?” lanjutnya.
“Mungkin ia berfikir, kalian tak akan bisa bersatu. Atau tak ingin membuatmu terluka setelah kepergiannya.”
“Dasar bodoh!” Shahida kesal dan meninju tembok dengan genggaman tangan kanannya sampai lebam, ia  tak bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Apa ia tidak berfikir, aku jauh lebih sakit dengan cara seperti ini. Menghadapi kenyataan, bahwa aku tak bisa bersatu dengan laki-laki yang sangat aku cintai.
Tubuh gadis 22 tahun itu semakin berguncang keras. Banjir air mata tak terbendung lagi dari pelupuk matanya. Ia tak bisa menahan menumpahkan kekesalannya di hadapan wanita tua yang tak lain adalah nenek dari orang yang ia  cintai, Al-Fatih. Lelaki yang terbunuh beberapa hari yang lalu oleh agresi polisi PBB karena diduga teroris.
Wartawati asal Indonesia ini telah lama menyimpan rasa kepada lelaki Turki yang mempunyai sifat beku melebihi kutub Utara itu. Ia sangat terpukul, karena lelaki yang selalu terlihat dingin itu diam-diam juga menyimpan rasa padanya. Yang paling menyesakkan dadanya, Fatih terbunuh karena ingin berkorban menyelamatkan dirinya yang disandera oleh pihak yang diduga teroris. Padahal semua hanya jebakan. Komplotan itu merupakan bagian dari polisi PBB.
Al-Fatih, lelaki muda berusia 24 tahun ini memimpin sebuah proyek penyerangan kembali terhadap pihak lawan. Ia yang jenius dalam bidang Fisika dan Kimia di bangku sekolah, mulai berguru langsung dengan para ilmuan diusia 14 tahun. Tak heran jika diusianya kini ia sangat mahir merakit persenjataan. Kedalaman ilmu keislamannya juga tinggi, karena berguru langsung kepada para ulama sedari usia 7 tahun. Terlahir dari keluarga ulama memudahkannya untuk berguru dengan ulama mana saja. Ia mempunyai impian mulia mengembalikan kekhalifahan Islam, meneruskan perjuangan seperti buyutnya Sultan Mehmed Al-Fatih 1453. Penyerangan ini awalnya diatur untuk membebaskan Suriah, namun ia duluan menjemput syahidnya.
“Bahkan, kematian pun lebih kurindui saat ini. Fatih, biarlah  kita tak bersatu di dunia. Namun Tuhan akan satukan kita diakhirat nanti. Aku hanya ingin menjadi ratu bidadari untukmu seorang. Semoga Tuhan kita tidak marah, karena aku tak ingin menerima pinangan dari laki-laki lain manapun. Insha Allah, aku akan memfokuskan diri untuk meneruskan perjuanganmu, sayang. Tunggu aku menjemput syahid dan Tuhan pun akan menyatukan kita setelahnya, selamanya,” tumpahan isi hati Shahida ini ia tuliskan di dalam diarynya sebagai pengingat. Ia ingin melanjutkan perjuangan sang kekasih hati dengan caranya. Melalui perang Media.
“Media Islam adalah sebuah keniscayaan! Jika tidak, kita akan terus dijajah oleh pihak Zionis dan kroni-kroninya,” Shahida, wartawati sekaligus mahasiswi yang mendapat beasisiwa kuliyah di Turki ini menyampaikan Orasi Ilmiah dari penelitian tugas akhir kuliyahnya.Ia ingin mengajak seluruh elemen jurnalis muslim bersatu. Melalui seminar ilmiah dan tulisan-tulisannya di media massa yang pedas terhadap barat. (Minggu,22/12/2013)

(FLP, “Liqo” Nulisku.#after I follow seminar Untold Story 2 langsung nulis.)

2 komentar: