Kamis, 27 Juni 2013

Ibu yang “Fanatik” Miyako

“Miyako ya?” Pesan ibu sesaat  sebelum membeli kipas angin baru bewarna biru putih seminggu yang lalu. Keren, baru tau ada kipas angin yang sudah ber-remote pula. Jadi ngak susah-susah kalau mengaturnya pada saat tidur.
Entah kenapa ibuku dan beberapa orang kampungku begitu fanatik Miyako. Katanya “Miyako koeng (tahan lama, bahasa Acehnya), dan terjangkau lagi.” Hampir semua barang elektronik yang sudah kami miliki dirumah mereknya Miyako. Pertama sekali beli Blender, asli tahan dari kami SMP dulu, sampai mau tamat kuliyah sekarang ini. Dan ketika bersilahturrahmi ke beberapa rumah tetangga pun, banyak peralatan elektronik woro-wiri nama Miyako, terutama dispenser. Bahkan hampir satu kampungku menggunakan dispenser Miyako.
Bagi keluarga kami yang sederhana, membeli barang elektronik bukanlah hal yang mudah, tapi kami perlu menabung berbulan-bulan terlebih dahulu. Bahkan terkadang, membeli barang elektronik menjadi impian tersendiri. Seperti bulan puasa satu tahun lalu yang sangat panas. Apalagi di Aceh, betul-betul lengkap ujiannya lah.
“Seandainya ada kipas angin, ya Allah,” lirih ibu. Dan hal senada hampir diucapkan oleh kelima penghuni rumah yang lainnya, abang dan adik-adikku juga.
“Tuh kan ada AC alam. Besar lagi, orang kaya mana punya,” begitu cara ayah yang memang berkarakter sabar dalam menyabarkan kami. Maksudnya itu adalah dinding rumah yang terbuat dari kayu ala kadarnya yang bolong disana-sini, sehingga banyak angin berkeliaran keluar masuk lewat lobang tersebut. Sedih mendengarnya. Tapi, ini kami jadikan motivasi. Ibu menabung dari hasil jual kacang goreng yang dititipkan ke warung-warung kopi.
Impian ibu, Blender, setrika, kipas angin, ricecoocer dan yang terakhir dispenser yg belum diwujudkan. Mungkin ke depan bisa nambah lagi. Tapi itu yang paling pokok terlebih dahulu. Kalau tidak ada setrika, baju tidak rapi, kalau tidak ada ricecooker, nasi bisa hangus melulu, dsb.
Nah, sekarang saya sedang berusaha menabung untuk membeli dispenser impian ibu. Membayangkan wajah ibu yang ceria saat pulang dari sawah walau kecape’an dan berpeluh, tinggal kuambilkan gelas dan, srettt! jadi  deh, langsung minum. Tidak seperti biasanya yang harus menunggu dimasak air terlebih dahulu, serta menimba air yang jaraknya 10 meter dari dapur.
 Belakangan kami sering sariawan dan panas dalam karena kekurangan minum. Habis, lama-kelamaan jadi malas juga kalau harus memasak air terlebih dahulu sebelum minum, padahal baru pulang dari aktivitas sehari-hari yang menguras tenaga. Ya, terpaksa beli air mineral kalau sudah genting. Tapi, hal ini justru boros jadinya. Uang jajan yang seharusnya bisa digunakan untuk yang lebih bermamfaat malah harus dihabiskan hanya untuk membeli minum.
Oleh sebab itu, saya bertekad, semoga bulan puasa ini, Allah dengan kemurahan hatinya memberikan rezeki untuk kami membeli dispenser. Giat menabung dan bekerja lagi. Saat ini aku sedang mengajar di sebuah les, nyambi kuliah. Jadi aku sisihkan sedikit demi sedikit dari kebutuhan kuliyahku yang menginjak semester akhir ini. Semoga dispenser impian ibu bisa tercapai pembeliannya. Seperti  pada saat ibu bermimpikan membeli setrikaan. Wajah ibu terlihat sangat sumringah saat ku bawa pulang sebuah setrika listrik bewarna biru putih (warna favorit sepertinya, hehehe).Kira-kira sekitar dua setengah tahun yang lalu.
 “Berapa Neuk (Nak)?” Tanya ibu tentang harganya.
“Tenang aja bu, ngak dijual lagi kog. Hehehe,” jawabku sedikit becanda. Namun enggan menyebutkan harganya. Mungkin ibu berfikir dengan kualitas segitu pastilah harganya cukup sulit untuk ku tebus yang kala itu baru mendapat gaji pertama mengajar les. Uang yang kuhasilkan secara susah payah itu, untuk pertama kalinya ingin ku persembahkan untuknya, demi menyenangkan hati  wanita mulia itu. Kebetulan aku sangat terkejut melihat label harga di sebuah toko elektronik di Banda Aceh tersebut. “Ha? Miyako hanya Rp 75.000, mending ini aja lah?” pikirku disudut toko tempat setrikaan dipajang berbagai merk. Wah, bersyukur sekali. Uang pertamaku yang totalnya Rp150.000 tak habis semua. Karena awalnya aku fikir sampai seratusan ribu lebih.
Ini pengalaman pertamaku membeli barang elektronik untuk keluarga. Ada rasa bangga disana. Senaaang sekali rasanya. “Mak, udah ngak usah gosok pakai arang lagi ni,” ucapku saat ibu membuka bungkus setrika itu sambil membaca kertas intruksi penggunaan. Ibu hanya membalas dengan senyum yang indah tanpa berkata-kata. Justru inilah indahnya. Mendapatkan impian dengan berusaha sungguh-sungguh.

Senin, 17 Juni 2013

INI CARAKU MEMANTASKAN DIRI




Hari ini, satu ujian lagi datang padaku. Tepat jam 10 pagi, Senin, 17 Juni 2013, aku menuju kampus Biru, IAIN Ar-Raniry tercinta.
“Cepat Syu, harus diukur, masuk terus,” seru Makmur, sahabatku seunit di Jurnalistik, melalui sms.
“Yang ngukur laki-laki atau perempuan?” Balasku bertanya.
“Ngak tau, masuk aja,” balasnya lagi.(Padahal dia tahu).
Aku bergegas ke ruang sidang dekanan Fakultas Dakwah. Di sana sudah ada sekitar duapuluhan orang menanti untuk diukur baju seragam. Mereka adalah peserta berbagai lomba yang akan diadakan di IAIN Banten bulan Agustus nanti, seluruh IAIN di Indonesia akan mengerimkan delegasinya. Dan, rahmad  yang tak terhingga kepada sang Rabb adalah aku menjadi bagian perwakilan IAIN Ar-Raniry untuk katagori lomba Karya tulis Ilmiah Al-Quran, cita-citaku 5 tahun silam hampir kesampaian. Ini semangatku untuk terus bermimpi. Tentunya ujian dan rintangan pun semakin teruji dan tinggi. Termasuk hari ini.
Setelah hampir satu jam di  kamar mandi bawah tangga arah pustaka induk, akhirnya bala bantuan datang.
“Syu sakit?”tanya seorang Bidadari bermata tidak jeli.
“Iya, Syu terjatuh dikit di kamar mandi. Tadi badan panas dingin dan gemetaran. Padahal ngak sanggup ke kampus, lah. Tapi, karena mendesak, terpaksa datang juga,” jelasku panjang lebar.
“Ya sudah. Masuk terus sana, Makmur bilang mereka udah nunggu Syu tuh,” kata Maria sambil melemparkan senyum dan hendak ketawa. “Ha...ha...ha..., memang, lah aku datang selalu di waktu yang tepat, pas aku pulang dari KPM Syu langsung butuh bantuanku,” sambungnya lagi sambil mengantarkanku ke  ruang sidang tersebut.
Saat memasuki ruangan, semua mata tertuju padaku. (Ya, lah... datangnya terlambat gitu...) Aku mundur lagi ke belakang, meraih tangan Maria. kemudian cipika-cipiki. “Makasih ya...” ucapku tulus. Kemudian langsung kuayun kan langkah ke dalam  ruangan tanpa memandang wajah sang Bidadari tersebut. Belum tiga langkah aku berjalan, “Syu bau!!!! HAHAHAH,” ucap Maria menggoda, mendadak langkahku berhenti dengan raut wajah aneh. Dalam hati aku ragu untuk masuk, apakah benar-benar bau karena jatuh dari kamar mandi tadi. Sekali lagi, semua mata tertuju padaku. Kemudian aku langsung  menuju ke posisi yang banyak perempuannya. Sekelompok kursi di pojok kiri belakang ruangan. Disana banyak kursi empuk berjejeran ala para kepala sekolah.
Betapa terkejutnya diriku, saat seorang mahasiswi dipanggil kedepan ruangan untuk diukur badannya.
“Weng?!” ucapku spontan sambil memerengkan kepala kekiri, mata melotot, bibir tertatik ke kiri bawah. “Ha? bapak tuh yang ngukur baju kita, Dek?” tanyaku pada seorang junior di samping.
“Iya, semua bapak tuh yang ngukur,” lanjutnya lagi.
“Oh, kakak ngak bisa... ngak bisa...,” kataku tanpa menatap wajahnya namun malah menatap mahasiswi tadi yang kerisihan diukur bagian d**a dan pinggangnya.
Cepat ku ayun langkah, demi mencari bantuan. “Ada paket nelpon ga? Syu mau nelpon mamak ni, penting banget,” tanyaku pada Asma, warga LDK yang sedang mondar mandir di Fakultas. Siapa saja yang jumpa, langsung kutanyai. Maksud hati, ingin menghubungi mamak, karena mamakku biasanya yang menjahitkan baju untukku.
“Ngak ada. Tapi Kak Zakiah kegnya ada,”
“Di mana Kak Zakiah?”
“Ngak tau, nih lah sedang Asma cari-cari juga”
“Ok, kalau sudah jumpah kasih tahu ane ya”
“Iya, insha Allah”
Di tengah rintik hujan, baju batik baby doll yang kupakai hari ini mengembang indah, persis di dalam video klip. Lagi, semua mata di kantin Biro menatapku (kali ini perasaanku saja mungkin). Aku ke kantin paling besar di IAIN itu, menembus rintik-rintik menuju bidadari Mongolia.
“Maria... Gawat! Sini dulu!” Ku tarik tangan Maria mendekat ke arah ku. “Gila... yang ngukur baju bapak-bapak. Ngak mungkin-lah. Secara, kalau ada cowok yang berani dekat-dekat sama Syu aja langsung kena nih,” kataku sambil menunjukkan tinju tangan kanan.  “Apalagi ni mau diukur....”Aku tak bisa melanjutkan kata-kata. Tampangku kali ini shock berat.
“Wa...” teriaknya. “Jadi, Maria bantu apa?”
“Pulang, ambil baju Maria untuk Syu kasih bapak tuh. Biar bapak tuh ngukur bajunya aja,” sejenak aku diam menatap lekat-lekat ke arah Maria dari ujung kepala sampai ujung kakinya, yang saat itu sedang memakai kemeja sepinggang dengan rok coklat yang sempit menurutku. “Yah, ga bisa, Maria, kan pakai baju adek?” ucapku polos.
“Iya...baju Maria ngak pas untuk Syu. Yaudah... ngukur aja pun. Sesekali ngak papa, HAHAHAH...”
“(Kesel, punya sohib ngak pengertian) Ya udah, gue balik... dah!!!” ucapku mengakhiri perbincangan yang tak mendapatkan solusi itu. Segera ku beranjak mencari Asma dan Kak Zakiah. Tidak ketemu lagi. Akhirnya menuju ke ruang sidang lagi. Hampir pasrah, karena tidak ada bantuan. Di jalan berjumpa dengan anak Malaysia berjilbab lebar. Ia barusan dari ruang sidang yang jaraknya 4 meter dari kami itu.
“Dek, gimana udah ngukur? Kawanin kakak ngukur lah, nanti kakak ngukur adek, lalu adek ngukur kakak.”
“Udah siap tadi kak,” ucapnya datar.
“Apa?” Aku benar-benar ngak nyangka, dia bisa pasrah untuk diukur.
“Iya kak, sebenarnya ngak enak juga, tapi...”
Belum sempat ia melanjutkan bicaranya yang menurutku terlalu lambat, langsung saja ku tarik tangannya ke ruangan. Eh, pas sampai di depan pintu ada PD3 Fakultas Syariah yang datang terburu-buru. Beliau sebagai pendamping peserta lomba nantinya.
“Ibu bisa ngukur? Saya ngukur sama ibu saja ya.” ucapku sambil merangkul lengannya sang Pembantu Dekan tiga itu.
“Iya, boleh,” sahut sang ibu. Maka tenanglah daku, ku fikir, ini akhir dari perjuanganku untuk tidak diukur oleh sang Bapak Tukang Jahit.
“Oh ibu... You are my Hero today,” ucapku dua kali kepadanya. “Dek, ngak usah lagi, makasih banyak ya,” aku  berterima kasih sama anak Malaysia berjilbab hijau toska lebar itu. Karena pikirku, pasti ia ngak bisa ngukur juga.
Sekitar 10 menit berselang, setelah antre peserta laki-laki berbaju orange, peserta Panjat Tebing.
“Kami duluan ya Pak, karena buru-buru,”pintanya pada tukang jahit.
Giiliranku. “Pak, ibu aja yang ngukur saya ya,” pintaku sama Pak Muhammad. Dengan sedikit sebel diwajahnya, akhirnya ia menyiyakan.
“Apa dulu diukur Pak?” kata Bu Ani.
“Bahu dulu,” jawab tukang jahit sedit malesan.
“Gini ngukurnya Pak?”
“Bukan.”
“Gini?”
“Bukan... Alah, nanti salah, biar saya saja. Kalau saya yang ngukur cuma sebentar sudah siap,”
“Ngak bisa, Pak!” Kataku.
“Ngak papa Nak. Inikan mudharat,” (GUBRAKS!) Kata PD3 Fakultas Syariah itu. Sejenak aku berfikir, apa iya ini mudharat? Beliau kan, orang Syariah. Hampir saja nyerah dan pasrah. Namun, pas aku berada tak jauh dari jaraknya, entah kenapa hati ini bilang tidak bisa.
“Em... Maaf Pak, saya  tidak bisa Pak...”Kata ku lagi, kali ini nampak wajahku resah. Beberapa kali adegan tolak-menolak itu lagi-lagi mengundang perhatian. “Pak, saya bawa baju aja untuk diukur,” hal ini yang terfikir di otakku. Langsung ku raih tas ransel merahku untuk bergegas pulang dan membawa baju sempel.
“Eh, Elfira... !Hai! ngak boleh gitu... ngukur terus,  itu ja pun,” kata  Makmur sohibku yang sama tidak pengertiannya. Aku kecewa, karena pada saat itu aku sangat butuh dukungan. Aku berharap, ia bisa berkata, (“Ya sudah, Syu ambil terus bajunya. Jangan lama.”)  Heran, ia menyebutku dengan nama depan, yang jarang disebut.
“Sorry, I Can’t, Makmur...” Ucapku tegas setengah kesal. Kali ini, seluruh isi ruangan benar-benar tertuju padaku, memperhatikan dengan jelas adegan tadi. Sedangkan Pak Muhammad sang Tukang Jahit, mengiya pasrah dengan tingkahku.
Langsung saja, sepeda motor melaju cepat ke arah Lamprit, Villa indahku di Banda. Pada saat itu aku berasa terbang melayang diatas aspal. Whatever-lah, orang bilang ada akhwat ngebut-ngebutan. Jilbab biruku tak karuan tertiup angin. Kesannya ada princess gagah menunggang bebek terbang.
Setelah mengambil baju sempel, tepat jam setengah 12 siang aku menyempatkan untuk mampir di SDN 25 Lamprit, di Jalan Pari. Saat itu sedang berlangsung berbagai perlombaan Fasi. Maksud hati ingin melihat penampilan dua orang “peri” kecil hasil asahanku dua bulan ini. Telat. Mereka baru saja pulang. Wa!!! rasanya kesal, aku ingin berteriak. Langsung saja, aku melajukan gerak sepeda motor bebek itu ke arah kampus Darusslam. Kali ini, terbangnya lebih menggila. Polisi tidur di depan POLDA tak ku hirau, langsung aku tancap gas. Geredak-gereduk bunyi motorku, untuk sekian kali, menimbulkan  perhatian pengendara lain.
Nafasku masih tersengal-sengal. Menuju ruang sidang. Telat, si bapak bertubuh tambun berkulit hitam manis tak nampak lagi batang hitung meterannya. Sudah  pulang, pikirku. Langsung aku beranjak ke depan ruang PD3 Fakultas Dakwah. Di sini adalah waktu yang paling menegangkan. Sudah pasti aku akan “dinyanyikan lagu Rap”. Beberapa kali ku rapal Rabbisy syrahlii... agar Allah mudahkan lisanku bertanya alamat bapak tukang jahit itu. “Tengan Syu... Tenang... Ingat, tampilkan wajah berani tidak gugup, PD. Bismillah, mulai,” ucapku memotivasi diri, setelah beberapa kali berputar-putar di depan ruang Pembantu  Dekan tiga yang terkenal me***utkan itu.
“Assalamu’alaikum Pak, tolong tuliskan alamat dan nomor Hp bapak tukang jahit tadi,” ucapku tegas sambil menyodorkan buku tulis pada Pak Bahar.
“Kah cit awak peukacoe buku. Nyenyenye..... (Setengah mengejekku.hiks sedih) Saya ngak bisa. Saya jahit sendiri saja,” ucapnya mengulang apa yang aku ucapkan tadi dengan setengah mengejek dan kesel. Tak apalah, ku pahami, ini memang sangat merepotkan beliau yang banyak urusan lain dan lebih besar selaku pembantu dekan.
“Iya Pak, maaf, saya kan ngak bisa gitu....” dan Bla..bla.. tidak ingat lagi pembicaraan ku dengan beliau.
“CV.Kuta Blang, simpang Luengbata,” tulisnya di buku yang ku sodorkan. Nanti kalau dari kota belok kiri ya?” Kini suaranya nampak melembut dan dewasa.  Kalau aku bilang, kembali normal.
“Belok kiri ya Pak,” sekedar basa-basiku.
“Iya” Jawabnya lembut sambil menggambarkan sedikit denah.
“Nomor Hpnya ada Pak?”
“Alah....”
“Oh, ga usah saja Pak,” jawabku cepat, karena membaca kondisi, pasti akan merepotkan beliau untuk mencarinya lagi.
“Nanti cari aja terus alamatnya di simpang Luengbata  ya...”
“Iya Pak. Terimakasih banyak,”ucapku cepat, dan segera menarik langkah lebar-lebar keluar dari ruangan dan kursi panas itu. “Alhamdulillah, ternyata Pak Bahar walaupun me*****ramkan, namun lebih baik hatinya dari perkiraanku.
Kali ini, bebekku tak ku ajak terbang lagi, cukup berlari bahkan berenang santai mendekati simpang Surabaya. Agar tidak kelewatan dengan alamat yang ingin dituju. Sebelumnya, macet panjang dari Hermes Mall sampai Simpang Surabaya membuatku jenuh. Sedikit lama, sampai azan zuhur terdengar berkumandang, namun kendaraan masih padat di jalanan ibu kota Aceh ini.
“Assalamu’alaikum Pak, permisi, mau nanyak, tempat jahit CV.Kuta Blang Taylor dimana ya?” Tanyaku pada seorang tukang Mie aceh pas di depan simpang LuengBata arah seblah sungai.
“Nyan.” kata ia menunjuk toko di sampingku.
“Ya Allah... alhamdulillah. Makasih Pak beuh!” ucapku padanya yang kembali melanjutkan pekerjaan.
Saat memasuki toko tempat jahitan baju tsb, yakinlah saya... “Ya Allah, ini perjuangan terakhir hamba kan? Ya Allah... ini bukti hamba ingin menjalankan perintahmu dengan sempurna. Ku lewati ujianmu hari ini. Ini cara hamba memantaskan diri untuk menanti hambamu sebagai calon imamku. Supaya hamba pantas bersandingkan dengannya. Demi cintaku pada-Mu. Demi meraih cinta-Mu. Padahal, hampir saja pasrah. Tapi, Engkau pula lah yang menguatkan hati hamba untuk tetap istiqomah. Ini bukanlah mudharat seperti yang mereka bilang. Kalaupun ia, kadarnya rendah sekali. Terima kasih untuk ujian mu hari ini.
“Gimana Dek? Ok?” Kata laki-laki beruban dan  berkulit putih di depanku, ia asisten tukang jahit.
“Ok, Pak. Makasih ya...” Tutupku dengan senyum simpul.
Menanti seragam gamis impian. Perjuangan ini berbuah manis. Yang lain hanya jahit seragam blus kurung selutut, tapi aku bisa request batek. Insha Allah.







Selasa, 11 Juni 2013

Tiba-Tiba Aku Skizofrenia




Selasa,14 Februari aku beranjak ke Pustaka Wilayah. Dengan membawa niat mengembalikan buku yang aku pinjam seminggu yang lalu. Setelah mengembalikan buku-buku itu dan mengucapkan terimakasih, aku beranjak ke rak buku yang belum pernah aku pergi sebelumnya semenjak dua tahun aku mengenal perpustakaan itu. Tepatnya disudut ruang dewasa I. Mataku tertuju ke rak Keperawatan. “Apa sih yang dipelajari anak keperawatan, kog banyak banget yang memfavoritkan jurusan ini?,” pikirku dalam hati.
Mereka Bilang Aku Gila, itu judul buku yang kuambil, karya Ken Stele dan Claire Berman. Di sampul belakang tertulis, “Bunuh dirimu...Bakar tubuhmu...Gantung dirimu. Dunia akan menjadi lebih baik tanpamu.” dan seterusnya. “Wih, gaswat (baca:gawat) juga ni buku. Kayaknya seru ni ,” pikirku. Lalu ku putuskan untuk meminjamnya.

Sesampai di rumah magrib itu, langsung ku menunaikan sholat magrib. Setelahnya melakukan aktifitas mengaji dan mengajarkan ngaji untuk adik-adik sepupuku. Setelahnya makan malam selama setengah jam. Terdengar suara televisi dihidupkan oleh mamakku, aku pun tak bisa menahan diri dengan rayuan suara itu untuk tidak menonton, meskipun itu acara yang paling tidak kusukai. SINETRON Indonesia yang paling lebay deh pokoknya. Jadi, intinya dengan segala rutinitas malam itu aku terlupakan untuk segera membaca buku itu.

Keesokan harinya ketika akan berangkat ke Kampus, eh kampus masih libur. Tidak tahu lah pokoknya hari itu aku berangkat mau kemana. (aku memang sering begitu orangnya). Kupindahkan isi tas kemarin. Eh, aku beru teringat lagi buku yang bercover kuning kecoklatan itu. “Ya sudah lah, kamu di rak dulu nanti kalau aku pulang baru aku baca lagi,” kataku kepada buku 436 halaman itu.

Setelah beberapa hari berlalu, ternyata aku masih saja lupa untuk membacanya kembali, hingga waktu pengembaliaannya pun tidak lama lagi.
Malam Minggu, aku berniat merapikan rak buku di kamar. Aku kembali melihat buku terbitan Qanita itu. Disampingnya aku juga melihat buku penulis Purnadina, Menjadi Pembelajar Sejati. “Ah, aku kan ada tugas meresensi buku ini dari FLP, baru setengah yang aku baca. Tapi, aku penasaran sekali lah dengan buku Mereka Bilang Aku Gila. O ya, berarti aku harus kebut baca buku ini dulu, malam ini, dan berharap dua hari lagi siap, ok. Gooo,” komunikasi intrapersonal terjadi dalam diriku.
Em... buku yang bagus, yang paling aku suka bahasa dalam buku ini sederhana, sehingga aku bisa membacanya dengan speed reading namun tidak kehilangan makna. Deskripsinya juga bagus, seolah aku bisa membayangkan tokoh yang diceritakan di dalam buku. Isinya begitu meresap keingatanku. Diatas tempat tidur aku membacanya, suasana kenyamanan yang mendukung membuatku tak tersadar bahwa sudah banyak halaman yang terlah lewat kubaca. Dan, tak tersadar pula aku telah tertidur (dalam keadaan belum siap untuk tidur biasanya).
Bugh.......! (ini bukan bahasa Inggris), bunyi pintu kamarku terbuka mendadak. Aku terkujut dan tersadar dari tidurku, lampu neon panjang 1 meter di kamarku belum kumatikan, ini membuatku tidak segera membuka mata walau sudah tersadar. Badanku pun lemas, karena posisi tidur yang tak beraturan,( maklum, namanya juga tidur yang tidak disengaja).
“Syuhada................. bangun!, itu motornya masukin kerumah!, sudah jam berapa ini?,” ternyata mamakku yang membuka pintu dengan keras serta memanggilku setengah berteriak. Mamak paling marah kalau aku kemalaman memasukkan sepeda motorku kerumah, karena takut suaranya dapat mengganggu tetangga lain yang sudah tertidur. Kemudian ntah apa lagi yang mamak katakan. Aku yang baru terbangun antara setengah sadar dan tidur tidak jelas kali mendengarkan apa yang mamak katakan. Yang jelas, ketika mendengar kata-kata mamak, kepalaku terasa sakit dengan sangat, dadaku panas seperti gunung api yang mendidih, tubuh sedikit gemetaran, ku gigit gigi serta menarik nafas lewat mulut. Melalui sela-sela gigi, udara itu masuk sehingga mengeluarkan bunyi ketika bertemu dengan air ludah, seperti suara menghirup air ketika minum. Tak hanya itu, jantungku seperti berdetak kencang. Dan secara keseluruhan aku merasa tubuhku gundah. Seperti ada bisikan dalam hati, bahwa aku benci dengan kata-kata mamak, semakin banyak ia bicara semakin bertambah kebencianku. Suara-suaranya seperti ancaman bagiku.
Aku bangun dari tempat tidur dengan mata tertutup, kemudian sedikit terbuka ketika akan berjalan. Mamak terus berbicara didepan pintu. Tak sanggup ku dengar rasanya. Aku bangun dan berjalan dengan menyentak-nyentakkan kaki ke lantai. Dengan kedua tangan kuangkat ke kepala, dan menggenggam keduanya ke jilbabku, seperti sedang menggenggem rambut. Karena pada saat tertidur aku masih mengenakan jilbab kaos berwarna hitam. Kemudian aku berjalan keluar kamar melewati mamak yang sedang di pintu kamar tanpa ku hiraukan dengan sepatah kata apa pun, apalagi memandang kearahnya. Jelas, ekspresi mamak sangat marah. Karena, hal yang paling membuat mamak marah adalah tidak mempedulikan atau cuek terhadap apa yang ia katakan. Entah ‘lagu’ apa lagi yang mamak ‘nyanyikan’ untukku. Melihat tingkahku, kemarahan mamak benar-benar memuncak malam itu.
Tubuhku seperti tergerak sendiri menuju kamar mandi belakang. Setelah kutimba air, kemudian aku berwudhu. Dinginnya air wudhu dan gelapnya kamar mandi tak berlampu, membuat kesadaranku sedikit kembali. “Tadi itu kenapa?,” tanyaku dalam hati. Kemudian aku kembali ke kamar dan mengambil mukena untuk melaksanakan sholat Isya. Karena tadi tertidur cepat dan belum sempat melaksanakan sholat Isya. Badanku memang bergerak sendiri untuk melaksanakan sholat Isya, dan kalau pun tertidur pasti tidak nyenyak dan terbangun lagi. Mungkin ini yang dinamakan jam biologis.
Ketika sholat aku masih merasakan kegelisahan bahkan hampir menangis. Selesai sholat, kesadaranku seperti meningkat. Aku masih bingung apa yang sebetulnya terjadi dengan diriku. Kini sudah tidak terdengar lagi suara ibu. Kemudian aku teringat apa yang telah aku lakukan kepada ibu. Sekarang aku benar-benar menangis. Apa yang telah ku lakukan sebagai seorang muslimah. Aku tahu, malam ini aku telah  benar-benar berdosa kepada mamak.
Dengan kondisi bingung, kalau tidak bisa dibilang setengah sadar aku melanjutkan prosesi tidur dengan sempurna, sudah menggosok gigi, menyapu tempat tidur 3x dengan membaca ta’awuz, membaca doa tidur.
Keesokan harinya. Setelah menunaikan sholat subuh dikamar.
“Neuk (nak)..............., tolong lihat air dikompor bentar, kalau sudah mendidih matikan ya?,” itu suara mamak, kali ini ia memanggilku lembut.
“Ha?, mamak memanggil aku apa?, neuk?,” bicaraku dalam hati karena terkejut dengan panggilan mamak untukku. Mamak akan memanggilku Neuk apabila aku berbuat baik dan kalau ia sedang senang hatinya. Tapi kalau ada kesalahan yang aku lakukan dan ia tidak senang, maka ia akan memanggilku dengan nama.
“Ya, mak...,”jawabku juga lembut.
Pikiranku kembali mengingat kepada kejadian tadi malam. Pagi ini kurasa kesadaranku sudah penuh. Walau badan masih sedikit terasa pegal.
“Yang tadi malam itu, mimpi bukan ya?. Tapi kog mamak biasa aja tuh, seperti tidak terjadi apa-apa,” pikirku dalam hati.
Sikap mamak memang biasa saja. Biasanya kalau ada kesalahan yang aku lakukan, bisa-bisa seharian mamak diam-diaman kepadaku. Tapi, pagi ini, wajah mamak justru secerah mentari seperti biasanya. Seolah memang tidak terjadi apa-apa tadi malam.
***
Sampai sekarang belum mampu kupahami, kenapa aku sampai bisa melakukan hal itu. Mungkin tuhan ingin aku merasakan bagaimana rasanya menjadi skizofrenik. Dengan kejadian itu, aku lebih menghargai kondisiku yang sekarang ini. Tuhan memberikan kehidupan yang normal untukku. Tak terbayangkan, bagaimana rasanya menjadi penderita Skizofrenia selamanya, dengan selalu dihinggapi bisikan-bisikan aneh yang mengontrol kehidupan, bahkan menyuruh penderitanya (skizofrenik) untuk melakukan bunuh diri, perasaan gundah gelisah yang luar biasa, selalu menghantui.
Aku katakan, cukup semalam!, cukup  malam itu saja ya Rabb. Ampuni hamba yang banyak mengeluh dengan segala kekurangan yang Engkau berikan. Ampuni hamba yang jarang melihat apalagi bersyukur terhadap nikmat dan kelebihan-kelebihan yang Engkau berikan.