Senin, 17 Juni 2013

INI CARAKU MEMANTASKAN DIRI




Hari ini, satu ujian lagi datang padaku. Tepat jam 10 pagi, Senin, 17 Juni 2013, aku menuju kampus Biru, IAIN Ar-Raniry tercinta.
“Cepat Syu, harus diukur, masuk terus,” seru Makmur, sahabatku seunit di Jurnalistik, melalui sms.
“Yang ngukur laki-laki atau perempuan?” Balasku bertanya.
“Ngak tau, masuk aja,” balasnya lagi.(Padahal dia tahu).
Aku bergegas ke ruang sidang dekanan Fakultas Dakwah. Di sana sudah ada sekitar duapuluhan orang menanti untuk diukur baju seragam. Mereka adalah peserta berbagai lomba yang akan diadakan di IAIN Banten bulan Agustus nanti, seluruh IAIN di Indonesia akan mengerimkan delegasinya. Dan, rahmad  yang tak terhingga kepada sang Rabb adalah aku menjadi bagian perwakilan IAIN Ar-Raniry untuk katagori lomba Karya tulis Ilmiah Al-Quran, cita-citaku 5 tahun silam hampir kesampaian. Ini semangatku untuk terus bermimpi. Tentunya ujian dan rintangan pun semakin teruji dan tinggi. Termasuk hari ini.
Setelah hampir satu jam di  kamar mandi bawah tangga arah pustaka induk, akhirnya bala bantuan datang.
“Syu sakit?”tanya seorang Bidadari bermata tidak jeli.
“Iya, Syu terjatuh dikit di kamar mandi. Tadi badan panas dingin dan gemetaran. Padahal ngak sanggup ke kampus, lah. Tapi, karena mendesak, terpaksa datang juga,” jelasku panjang lebar.
“Ya sudah. Masuk terus sana, Makmur bilang mereka udah nunggu Syu tuh,” kata Maria sambil melemparkan senyum dan hendak ketawa. “Ha...ha...ha..., memang, lah aku datang selalu di waktu yang tepat, pas aku pulang dari KPM Syu langsung butuh bantuanku,” sambungnya lagi sambil mengantarkanku ke  ruang sidang tersebut.
Saat memasuki ruangan, semua mata tertuju padaku. (Ya, lah... datangnya terlambat gitu...) Aku mundur lagi ke belakang, meraih tangan Maria. kemudian cipika-cipiki. “Makasih ya...” ucapku tulus. Kemudian langsung kuayun kan langkah ke dalam  ruangan tanpa memandang wajah sang Bidadari tersebut. Belum tiga langkah aku berjalan, “Syu bau!!!! HAHAHAH,” ucap Maria menggoda, mendadak langkahku berhenti dengan raut wajah aneh. Dalam hati aku ragu untuk masuk, apakah benar-benar bau karena jatuh dari kamar mandi tadi. Sekali lagi, semua mata tertuju padaku. Kemudian aku langsung  menuju ke posisi yang banyak perempuannya. Sekelompok kursi di pojok kiri belakang ruangan. Disana banyak kursi empuk berjejeran ala para kepala sekolah.
Betapa terkejutnya diriku, saat seorang mahasiswi dipanggil kedepan ruangan untuk diukur badannya.
“Weng?!” ucapku spontan sambil memerengkan kepala kekiri, mata melotot, bibir tertatik ke kiri bawah. “Ha? bapak tuh yang ngukur baju kita, Dek?” tanyaku pada seorang junior di samping.
“Iya, semua bapak tuh yang ngukur,” lanjutnya lagi.
“Oh, kakak ngak bisa... ngak bisa...,” kataku tanpa menatap wajahnya namun malah menatap mahasiswi tadi yang kerisihan diukur bagian d**a dan pinggangnya.
Cepat ku ayun langkah, demi mencari bantuan. “Ada paket nelpon ga? Syu mau nelpon mamak ni, penting banget,” tanyaku pada Asma, warga LDK yang sedang mondar mandir di Fakultas. Siapa saja yang jumpa, langsung kutanyai. Maksud hati, ingin menghubungi mamak, karena mamakku biasanya yang menjahitkan baju untukku.
“Ngak ada. Tapi Kak Zakiah kegnya ada,”
“Di mana Kak Zakiah?”
“Ngak tau, nih lah sedang Asma cari-cari juga”
“Ok, kalau sudah jumpah kasih tahu ane ya”
“Iya, insha Allah”
Di tengah rintik hujan, baju batik baby doll yang kupakai hari ini mengembang indah, persis di dalam video klip. Lagi, semua mata di kantin Biro menatapku (kali ini perasaanku saja mungkin). Aku ke kantin paling besar di IAIN itu, menembus rintik-rintik menuju bidadari Mongolia.
“Maria... Gawat! Sini dulu!” Ku tarik tangan Maria mendekat ke arah ku. “Gila... yang ngukur baju bapak-bapak. Ngak mungkin-lah. Secara, kalau ada cowok yang berani dekat-dekat sama Syu aja langsung kena nih,” kataku sambil menunjukkan tinju tangan kanan.  “Apalagi ni mau diukur....”Aku tak bisa melanjutkan kata-kata. Tampangku kali ini shock berat.
“Wa...” teriaknya. “Jadi, Maria bantu apa?”
“Pulang, ambil baju Maria untuk Syu kasih bapak tuh. Biar bapak tuh ngukur bajunya aja,” sejenak aku diam menatap lekat-lekat ke arah Maria dari ujung kepala sampai ujung kakinya, yang saat itu sedang memakai kemeja sepinggang dengan rok coklat yang sempit menurutku. “Yah, ga bisa, Maria, kan pakai baju adek?” ucapku polos.
“Iya...baju Maria ngak pas untuk Syu. Yaudah... ngukur aja pun. Sesekali ngak papa, HAHAHAH...”
“(Kesel, punya sohib ngak pengertian) Ya udah, gue balik... dah!!!” ucapku mengakhiri perbincangan yang tak mendapatkan solusi itu. Segera ku beranjak mencari Asma dan Kak Zakiah. Tidak ketemu lagi. Akhirnya menuju ke ruang sidang lagi. Hampir pasrah, karena tidak ada bantuan. Di jalan berjumpa dengan anak Malaysia berjilbab lebar. Ia barusan dari ruang sidang yang jaraknya 4 meter dari kami itu.
“Dek, gimana udah ngukur? Kawanin kakak ngukur lah, nanti kakak ngukur adek, lalu adek ngukur kakak.”
“Udah siap tadi kak,” ucapnya datar.
“Apa?” Aku benar-benar ngak nyangka, dia bisa pasrah untuk diukur.
“Iya kak, sebenarnya ngak enak juga, tapi...”
Belum sempat ia melanjutkan bicaranya yang menurutku terlalu lambat, langsung saja ku tarik tangannya ke ruangan. Eh, pas sampai di depan pintu ada PD3 Fakultas Syariah yang datang terburu-buru. Beliau sebagai pendamping peserta lomba nantinya.
“Ibu bisa ngukur? Saya ngukur sama ibu saja ya.” ucapku sambil merangkul lengannya sang Pembantu Dekan tiga itu.
“Iya, boleh,” sahut sang ibu. Maka tenanglah daku, ku fikir, ini akhir dari perjuanganku untuk tidak diukur oleh sang Bapak Tukang Jahit.
“Oh ibu... You are my Hero today,” ucapku dua kali kepadanya. “Dek, ngak usah lagi, makasih banyak ya,” aku  berterima kasih sama anak Malaysia berjilbab hijau toska lebar itu. Karena pikirku, pasti ia ngak bisa ngukur juga.
Sekitar 10 menit berselang, setelah antre peserta laki-laki berbaju orange, peserta Panjat Tebing.
“Kami duluan ya Pak, karena buru-buru,”pintanya pada tukang jahit.
Giiliranku. “Pak, ibu aja yang ngukur saya ya,” pintaku sama Pak Muhammad. Dengan sedikit sebel diwajahnya, akhirnya ia menyiyakan.
“Apa dulu diukur Pak?” kata Bu Ani.
“Bahu dulu,” jawab tukang jahit sedit malesan.
“Gini ngukurnya Pak?”
“Bukan.”
“Gini?”
“Bukan... Alah, nanti salah, biar saya saja. Kalau saya yang ngukur cuma sebentar sudah siap,”
“Ngak bisa, Pak!” Kataku.
“Ngak papa Nak. Inikan mudharat,” (GUBRAKS!) Kata PD3 Fakultas Syariah itu. Sejenak aku berfikir, apa iya ini mudharat? Beliau kan, orang Syariah. Hampir saja nyerah dan pasrah. Namun, pas aku berada tak jauh dari jaraknya, entah kenapa hati ini bilang tidak bisa.
“Em... Maaf Pak, saya  tidak bisa Pak...”Kata ku lagi, kali ini nampak wajahku resah. Beberapa kali adegan tolak-menolak itu lagi-lagi mengundang perhatian. “Pak, saya bawa baju aja untuk diukur,” hal ini yang terfikir di otakku. Langsung ku raih tas ransel merahku untuk bergegas pulang dan membawa baju sempel.
“Eh, Elfira... !Hai! ngak boleh gitu... ngukur terus,  itu ja pun,” kata  Makmur sohibku yang sama tidak pengertiannya. Aku kecewa, karena pada saat itu aku sangat butuh dukungan. Aku berharap, ia bisa berkata, (“Ya sudah, Syu ambil terus bajunya. Jangan lama.”)  Heran, ia menyebutku dengan nama depan, yang jarang disebut.
“Sorry, I Can’t, Makmur...” Ucapku tegas setengah kesal. Kali ini, seluruh isi ruangan benar-benar tertuju padaku, memperhatikan dengan jelas adegan tadi. Sedangkan Pak Muhammad sang Tukang Jahit, mengiya pasrah dengan tingkahku.
Langsung saja, sepeda motor melaju cepat ke arah Lamprit, Villa indahku di Banda. Pada saat itu aku berasa terbang melayang diatas aspal. Whatever-lah, orang bilang ada akhwat ngebut-ngebutan. Jilbab biruku tak karuan tertiup angin. Kesannya ada princess gagah menunggang bebek terbang.
Setelah mengambil baju sempel, tepat jam setengah 12 siang aku menyempatkan untuk mampir di SDN 25 Lamprit, di Jalan Pari. Saat itu sedang berlangsung berbagai perlombaan Fasi. Maksud hati ingin melihat penampilan dua orang “peri” kecil hasil asahanku dua bulan ini. Telat. Mereka baru saja pulang. Wa!!! rasanya kesal, aku ingin berteriak. Langsung saja, aku melajukan gerak sepeda motor bebek itu ke arah kampus Darusslam. Kali ini, terbangnya lebih menggila. Polisi tidur di depan POLDA tak ku hirau, langsung aku tancap gas. Geredak-gereduk bunyi motorku, untuk sekian kali, menimbulkan  perhatian pengendara lain.
Nafasku masih tersengal-sengal. Menuju ruang sidang. Telat, si bapak bertubuh tambun berkulit hitam manis tak nampak lagi batang hitung meterannya. Sudah  pulang, pikirku. Langsung aku beranjak ke depan ruang PD3 Fakultas Dakwah. Di sini adalah waktu yang paling menegangkan. Sudah pasti aku akan “dinyanyikan lagu Rap”. Beberapa kali ku rapal Rabbisy syrahlii... agar Allah mudahkan lisanku bertanya alamat bapak tukang jahit itu. “Tengan Syu... Tenang... Ingat, tampilkan wajah berani tidak gugup, PD. Bismillah, mulai,” ucapku memotivasi diri, setelah beberapa kali berputar-putar di depan ruang Pembantu  Dekan tiga yang terkenal me***utkan itu.
“Assalamu’alaikum Pak, tolong tuliskan alamat dan nomor Hp bapak tukang jahit tadi,” ucapku tegas sambil menyodorkan buku tulis pada Pak Bahar.
“Kah cit awak peukacoe buku. Nyenyenye..... (Setengah mengejekku.hiks sedih) Saya ngak bisa. Saya jahit sendiri saja,” ucapnya mengulang apa yang aku ucapkan tadi dengan setengah mengejek dan kesel. Tak apalah, ku pahami, ini memang sangat merepotkan beliau yang banyak urusan lain dan lebih besar selaku pembantu dekan.
“Iya Pak, maaf, saya kan ngak bisa gitu....” dan Bla..bla.. tidak ingat lagi pembicaraan ku dengan beliau.
“CV.Kuta Blang, simpang Luengbata,” tulisnya di buku yang ku sodorkan. Nanti kalau dari kota belok kiri ya?” Kini suaranya nampak melembut dan dewasa.  Kalau aku bilang, kembali normal.
“Belok kiri ya Pak,” sekedar basa-basiku.
“Iya” Jawabnya lembut sambil menggambarkan sedikit denah.
“Nomor Hpnya ada Pak?”
“Alah....”
“Oh, ga usah saja Pak,” jawabku cepat, karena membaca kondisi, pasti akan merepotkan beliau untuk mencarinya lagi.
“Nanti cari aja terus alamatnya di simpang Luengbata  ya...”
“Iya Pak. Terimakasih banyak,”ucapku cepat, dan segera menarik langkah lebar-lebar keluar dari ruangan dan kursi panas itu. “Alhamdulillah, ternyata Pak Bahar walaupun me*****ramkan, namun lebih baik hatinya dari perkiraanku.
Kali ini, bebekku tak ku ajak terbang lagi, cukup berlari bahkan berenang santai mendekati simpang Surabaya. Agar tidak kelewatan dengan alamat yang ingin dituju. Sebelumnya, macet panjang dari Hermes Mall sampai Simpang Surabaya membuatku jenuh. Sedikit lama, sampai azan zuhur terdengar berkumandang, namun kendaraan masih padat di jalanan ibu kota Aceh ini.
“Assalamu’alaikum Pak, permisi, mau nanyak, tempat jahit CV.Kuta Blang Taylor dimana ya?” Tanyaku pada seorang tukang Mie aceh pas di depan simpang LuengBata arah seblah sungai.
“Nyan.” kata ia menunjuk toko di sampingku.
“Ya Allah... alhamdulillah. Makasih Pak beuh!” ucapku padanya yang kembali melanjutkan pekerjaan.
Saat memasuki toko tempat jahitan baju tsb, yakinlah saya... “Ya Allah, ini perjuangan terakhir hamba kan? Ya Allah... ini bukti hamba ingin menjalankan perintahmu dengan sempurna. Ku lewati ujianmu hari ini. Ini cara hamba memantaskan diri untuk menanti hambamu sebagai calon imamku. Supaya hamba pantas bersandingkan dengannya. Demi cintaku pada-Mu. Demi meraih cinta-Mu. Padahal, hampir saja pasrah. Tapi, Engkau pula lah yang menguatkan hati hamba untuk tetap istiqomah. Ini bukanlah mudharat seperti yang mereka bilang. Kalaupun ia, kadarnya rendah sekali. Terima kasih untuk ujian mu hari ini.
“Gimana Dek? Ok?” Kata laki-laki beruban dan  berkulit putih di depanku, ia asisten tukang jahit.
“Ok, Pak. Makasih ya...” Tutupku dengan senyum simpul.
Menanti seragam gamis impian. Perjuangan ini berbuah manis. Yang lain hanya jahit seragam blus kurung selutut, tapi aku bisa request batek. Insha Allah.







4 komentar:

  1. mantap! (y)
    kalau punya prinsip dan terus dipertahankan, aku kasih jempol!

    gadogadosinyak.blogspot.com
    gadogadosinyak.wordpress.com

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. hehe, kakak waktu buat seragam MTQ ke ambon dulu juga cuma kasih baju aja, trus di ukur bajunya :)Alhamdulillah ya si bapaknya mau...

    BalasHapus
  4. Mantap, Syu, kamu orang yang prinsipil. Lihatlah secara positif sikap kami saat itu. Ternyata kamu mampu melewati ujian dengan hati yang teguh. Lanjutkan. Pasti akan ada hal positif tak terduga di Banten untukmu. :D

    BalasHapus