Senin, 02 September 2013

Ajakan Pertama Kali (Makan) Malam Mingguan

(Gambar Hanya Visualisasi)

“De, makan youk?”

“GUBRAKKK!!!....,” teriakku dalam hati sambil menggenggam erat tangan Jou. Tiba-tiba aku terkejut berat saat kata itu dikeluarkan oleh seorang laki-laki putih dan kurus tinggi di hadapan kami (aku dan Juwairiyah kawan perempuanku). 
             

Sekitar jam delapan malam waktu Banten, di depan ruang resepsionis hotel ABADI, aku meminta Jou untuk menemaniku menyerahkan barang titipan kepada dua orang kawan baruku di IAIN Sultan Hasanuddin Banten. Lelaki kurus itu sudah berjanji akan membantu. Karena ia mahasiswa sekaligus telah bekerja di situ, jadi ku percayakan saja padanya. Malam itu, malam terakhir keberadaan kami para kontingen Banda Aceh setelah mengikuti berbagai perlombaan dalam rangka PIONIR se-PTAIN Indonesia. Kami terdesak dengan waktu kepulangan yang dijadwalkan tengah malam ke bandara, dan aku membutuhkan bantuan beliau. Sengaja memilih tempat yang ramai orang berlalu lalang, dan tidak sepi. Perbincangan pun tak berlangsung lama, kami harus memakai gaya “sok” buru-buru agar tak menyinggung perasaan orang.
          Tak pernah ku sangka, seumur hidup akan ada yang berkata begitu kepadaku. Ternyata, tidak di Aceh, tapi di kampung orang bisa. Dalam hati  aku bertanya-tanya, kog bisa ya, ia orang yang berada dalam sebuah institusi agama Islam bisa berkata demikian. Ok, mungkin bisa jadi, tapi apakah ia tak bisa sensitif dengan sekitarnya, siapa wanita di depannya? Dua wanita dengan jilbab tebal berkibaran berdiri pun ada jaraknya. Biasanya ini cukup menjadi sebuah simbol bagi orang yang berfikir. Bukan mengatakan kami sudah sempurna diri, hanya saja kami membawakan simbol penjagaan diri. Mungkin di Aceh ngak ada yang berani ngajak dinner akhwat malam Mingguan
Tapi, aku berusaha husnozon saja dengan berbagai perbedaan budaya beberapa hari ini, “ok, mungkin ia bermaksud baik, dan hal itu dianggap lumrah di tempat mereka, tapi aku tetap harus tegas dengan prinsip yang diajarkan dalam syariah yang sesungguhnya.” Kemudian otakku berfikir keras untuk memilih diksi yang tepat. Lagi-lagi untuk tidak menyakiti hati orang, apalagi orang Sunda terkenal lembut. Ditambah lagi, aku pernah mendengar ucapan salah seorang teman disitu, “Kalau sampai menyakiti hati orang Banten,  sama dengan tidak bisa pulang.” Alamak...
“Maaf Bang, menurut adat kami orang Aceh, itu tidak baik, hehehe,” kataku dengan senyum memaksa. Sengaja aku menyebut menurut adat dulu bukan agama.
“Iya, ya...,” jawab lelaki kurus tinggi itu sambil tersenyum, dan ia  memang terlihat ragu-ragu dari awal untuk mengajak.
“Kan, menurut agama juga tidak bagus toh? Apalagi ini malam Minggu, apa bedanya dong dengan orang yang ‘janjian’?” sambungku lagi, sementara Jou si anak Malaysia yang baik hati ini hanya menjadi pendengar khitmat.
“Iya, betul. Kalau gitu, kapan-kapan aja deh. Mungkin kalau saya sudah di Aceh nanti.”
“Amin, insha Allah. Boleh hubungi kami (anak IAIN Banda Aceh) kalau sudah ke sana nanti.”
Kemudian aku dan Jou meminta izin untuk pergi dengan gaya terburu, meminta maaf saat beliau sedang masih bicara.
“Ok, Bang, kami tunggu kunjungannya ke Aceh. Sudah dulu ya, buru-buru mau kemas-kemas. Terimakasih, Assalamu’alaikum.” kataku sambil terus berjalan menjauh.
***
Pengalaman ini benar-benar mengujiku. Mungkin jika terjadi di Aceh, aku bakal marah-marah membara mengeluarkan esmoni, eh emosi. Tapi di kampung orang, mana bisa, harus bersikap bijaksana, namun tetap menjaga perintah syariah.
Betul lah pesan ustazahku, jika seorang wanita bersafar memang harus di dampingi mahram. Begini lah cara Allah mengajarkanku. Setelah teori, langsung ada contoh dan prakteknya. Untuk orang lain mungkin hal ini biasa saja, tapi bagiku sangat membuat terkejut dan menjadi pelajaran yang akan selalu kuingat Insha Allah.
 Dua minggu sebelum keberangkatanku, aku sempat tergoyahkan pemahaman tentang wanita bersafar yang sesuai tuntunan karena teori  dosenku di IAIN. Ia mengatakan bahwa pemikiran wanita bersafar wajib dengan muhrim adalah pemikiran kolot dan radikal. Tidak bisa membawa kemajuan. “Jika berpergian dengan rombongan tapi terjamin keamanannya, kenapa nggak? Kan yang ditakutkan keselamatan si wanita.”
Kedepan, jika ada peluang kuliyah keluar negri, aku akan berfikir seribu kali. Jika pun aku terima, tentu aku tahu apa yang harus terpenuhi, yaitu “dimuhrimkan” terlebih dahulu. Begitu kata ustazahku. Tentu si Doi yang menjadi pangeranku selain orang yang paham sunnah dengan baik, ia juga bisa mengerti citaku untuk menuntut ilmu. Bukankah Allah memang menyuruh hambanya untuk bertebaran di muka bumi?


(Wallahu’alam. Smoga kisah ini bisa menjadi Hikmah, dan tidak menimbulkan fitnah. Jika ada yang kurang jelas, boleh bertanya.)


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar