![]() |
(Gambar Hanya Visualisasi) |
“De, makan youk?”
“GUBRAKKK!!!....,”
teriakku dalam hati sambil menggenggam erat tangan Jou. Tiba-tiba aku terkejut
berat saat kata itu dikeluarkan oleh seorang laki-laki putih dan kurus tinggi di
hadapan kami (aku dan Juwairiyah kawan perempuanku).
Sekitar
jam delapan malam waktu Banten, di depan ruang resepsionis hotel ABADI, aku
meminta Jou untuk menemaniku menyerahkan barang titipan kepada dua orang kawan
baruku di IAIN Sultan Hasanuddin Banten. Lelaki kurus itu sudah berjanji akan
membantu. Karena ia mahasiswa sekaligus telah bekerja di situ, jadi ku
percayakan saja padanya. Malam itu, malam terakhir keberadaan kami para
kontingen Banda Aceh setelah mengikuti berbagai perlombaan dalam rangka PIONIR
se-PTAIN Indonesia. Kami terdesak dengan waktu kepulangan yang dijadwalkan
tengah malam ke bandara, dan aku membutuhkan bantuan beliau. Sengaja memilih
tempat yang ramai orang berlalu lalang, dan tidak sepi. Perbincangan pun tak
berlangsung lama, kami harus memakai gaya “sok” buru-buru agar tak menyinggung
perasaan orang.
Tak pernah ku sangka, seumur hidup
akan ada yang berkata begitu kepadaku. Ternyata, tidak di Aceh, tapi di kampung
orang bisa. Dalam hati aku
bertanya-tanya, kog bisa ya, ia orang yang berada dalam sebuah institusi agama
Islam bisa berkata demikian. Ok, mungkin bisa jadi, tapi apakah ia tak bisa
sensitif dengan sekitarnya, siapa wanita di depannya? Dua wanita dengan jilbab tebal berkibaran
berdiri pun ada jaraknya. Biasanya ini cukup menjadi sebuah simbol bagi orang
yang berfikir. Bukan mengatakan kami sudah sempurna diri, hanya saja kami membawakan simbol penjagaan diri. Mungkin di Aceh ngak ada yang berani ngajak dinner akhwat malam Mingguan
Tapi,
aku berusaha husnozon saja dengan berbagai perbedaan budaya beberapa hari ini, “ok,
mungkin ia bermaksud baik, dan hal itu dianggap lumrah di tempat mereka, tapi
aku tetap harus tegas dengan prinsip yang diajarkan dalam syariah yang
sesungguhnya.” Kemudian otakku berfikir keras untuk memilih diksi yang tepat. Lagi-lagi
untuk tidak menyakiti hati orang, apalagi orang Sunda terkenal lembut. Ditambah
lagi, aku pernah mendengar ucapan salah seorang teman disitu, “Kalau sampai
menyakiti hati orang Banten, sama dengan
tidak bisa pulang.” Alamak...
“Maaf
Bang, menurut adat kami orang Aceh, itu tidak baik, hehehe,” kataku dengan
senyum memaksa. Sengaja aku menyebut menurut adat dulu bukan agama.
“Iya,
ya...,” jawab lelaki kurus tinggi itu sambil tersenyum, dan ia memang terlihat ragu-ragu dari awal untuk
mengajak.
“Kan,
menurut agama juga tidak bagus toh? Apalagi ini malam Minggu, apa bedanya dong
dengan orang yang ‘janjian’?” sambungku lagi, sementara Jou si anak Malaysia
yang baik hati ini hanya menjadi pendengar khitmat.
“Iya,
betul. Kalau gitu, kapan-kapan aja deh. Mungkin kalau saya sudah di Aceh nanti.”
“Amin,
insha Allah. Boleh hubungi kami (anak IAIN Banda Aceh) kalau sudah ke sana
nanti.”
Kemudian
aku dan Jou meminta izin untuk pergi dengan gaya terburu, meminta maaf saat
beliau sedang masih bicara.
“Ok,
Bang, kami tunggu kunjungannya ke Aceh. Sudah dulu ya, buru-buru mau
kemas-kemas. Terimakasih, Assalamu’alaikum.” kataku sambil terus berjalan
menjauh.
***
Pengalaman
ini benar-benar mengujiku. Mungkin jika terjadi di Aceh, aku bakal marah-marah
membara mengeluarkan esmoni, eh emosi. Tapi di kampung orang, mana bisa, harus
bersikap bijaksana, namun tetap menjaga perintah syariah.
Betul
lah pesan ustazahku, jika seorang wanita bersafar memang harus di dampingi
mahram. Begini lah cara Allah mengajarkanku. Setelah teori, langsung ada contoh
dan prakteknya. Untuk orang lain mungkin hal ini biasa saja, tapi bagiku sangat
membuat terkejut dan menjadi pelajaran yang akan selalu kuingat Insha Allah.
Dua minggu sebelum keberangkatanku, aku sempat
tergoyahkan pemahaman tentang wanita
bersafar yang sesuai tuntunan karena teori dosenku di IAIN. Ia mengatakan bahwa pemikiran
wanita bersafar wajib dengan muhrim
adalah pemikiran kolot dan radikal. Tidak bisa membawa kemajuan. “Jika berpergian
dengan rombongan tapi terjamin keamanannya, kenapa nggak? Kan yang ditakutkan
keselamatan si wanita.”
Kedepan,
jika ada peluang kuliyah keluar negri, aku akan berfikir seribu kali. Jika pun
aku terima, tentu aku tahu apa yang harus terpenuhi, yaitu “dimuhrimkan”
terlebih dahulu. Begitu kata ustazahku. Tentu si Doi yang menjadi pangeranku selain
orang yang paham sunnah dengan baik, ia juga bisa mengerti citaku untuk
menuntut ilmu. Bukankah Allah memang menyuruh hambanya untuk bertebaran di muka
bumi?
(Wallahu’alam.
Smoga kisah ini bisa menjadi Hikmah, dan tidak menimbulkan fitnah. Jika ada yang
kurang jelas, boleh bertanya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar